Thursday, February 18, 2010

Celoteh Busuk: Menyerah Bukan Nama Tengah

seperti ada yang menghalangi tiap kali bergerak. sesuatu yang tak tampak,tapi merusak. tidak.tak bakal saya hentikan pergumulan ini hanya karena itu. sesak pasti selalu ada. tapi tak kan mengurangi niatku untuk meraup oksigen sebanyak mungkin. sungguh aku punya hak atas ini.aku tak akan menyerah.

Celoteh Busuk: :(

sebut saya cengeng.tapi terkadang air mata bisa sangat menenangkan pasang surut hidup.rasa aman yang berkurang tiap harinya.pandangan yang semakin buram. oh saya tak ingin terus berpaku tangan.menantikan diri saya lebur di dalam pusaran waktu. saya hanya ingin kesempatan. ataukah kesempatan juga berbayar kali ini?sungguh saya tak pernah mengharapkan fase yang satu ini. saya selalu beranggapan jika banyak hal yang bisa kita dapatkan tanpa merasa tertekan keadaan. atau ini hanya bentuk penghiburan diri saja?ah!

Wednesday, February 17, 2010

Celoteh Busuk: Teman Bicara

Saatnya berterus terang. Dibalik sikap yang terkesan MANDIRI, saya juga bisa merapuh. Meronta. Mendadak oleng. Terserang rasa yang tidak lazim. Benar,air mata terkadang bisa menenangkan. Tapi apakah itu akan membuat saya tertawa keesokan harinya?

Saya tidak ingin siapa-siapa. Saya bahkan terkadang tidak tahu kenapa saya begitu resah. Kita datang seorang diri, di liang lahat pun begitu.Tapi toh saya makhluk sosial yang kadang tak bisa menjamah semuanya sendiri.

Saya tipe manusia yang tidak bisa bercerita pada sembarang orang. Itu adalah masalah saya. Tapi saya butuh itu, butuh teman bicara. Yang semoga bisa mengerti. yang semoga bisa saling berbagi.

Celoteh Busuk: Teman Bicara

Saatnya berterus terang. Dibalik sikap yang terkesan MANDIRI, saya juga bisa merapuh. Meronta. Mendadak oleng. Terserang rasa yang tidak lazim. Benar,air mata terkadang bisa menenangkan. Tapi apakah itu akan membuat saya tertawa keesokan harinya?

Saya tidak ingin siapa-siapa. Saya bahkan terkadang tidak tahu kenapa saya begitu resah. Kita datang seorang diri, di liang lahat pun begitu.Tapi toh saya makhluk sosial yang kadang tak bisa menjamah semuanya sendiri.

Saya tipe manusia yang tidak bisa bercerita pada sembarang orang. Itu adalah masalah saya. Tapi saya butuh itu, butuh teman bicara. Yang semoga bisa mengerti. yang semoga bisa saling berbagi.

Tuesday, February 9, 2010

Cakra dan Lysa: I Remember (Edisi 2)

Pacar saya selalu bilang, jadi anak kuliahan jangan cuma kupu-kupu alias kuliah-pulang, kuliah-pulang. Dia selalu bilang kalau teori-teori, tugas-tugas, dan nilai-nilai hanya akan membantu kita sebesar dua puluh persen di kehidupan nyata. Selebihnya, nilai IPK tidak akan membantu banyak. Aktif berorganisasi, selalu memperbanyak teman, menambah wawasan di luar mata kuliah, dan terjun ke masyarakat akan membuat mata kita terbuka. Kita akan sadar kalau hidup tak akan terselesaikan hanya dengan nilai akademis sempurna di tangan.

“Percuma nilai IPK kamu 4 tapi tidak tahu cara bekerja sama, tidak punya link, dan tidak tahu seperti apa kondisi masyarakat yang sebenarnya…begitu keluar dari kampus, kamu akan kaget karena ternyata banyak hal berbeda yang tidak kamu pelajari ketika kuliah…” katanya.

“Tapi bukan berarti kamu menyepelekan nilai, Lysa…Seperti yang aku bilang, nilai memang hanya akan membantu kita sebesar 20 persen. Sisanya, kita harus cari di luar kampus.Hmm, katakanlah kamu mau mencari harta karun di hutan. Kamu nggak mau kan masuk hutan tanpa perbekalan sama sekali? Anggaplah 20 persen itu bekal sebelum kamu berusaha mencari sisanya…” lanjutnya.

Kadang saya heran. Tercipta dari apakah pacar saya itu? Di tengah kesibukannya sebagai presiden BEM di Fakultas Ekonomi, anggota aktif UKM sepak bola di kampusnya, belum lagi aktivitasnya di sebuah LSM yang bergerak di bidang lingkungan, oh dan jangan lupa bisnis game online dan warung makan yang ia jalani bersama teman-temannya di Depok sana, Rahyang masih bisa mendapat IPK di atas 3,5! Tahun depan dia akan berangkat ke Jepang selama satu tahun untuk student exchange.

Saya cuma bisa geleng-geleng kepala. Seringnya sih gigit jari dengan semua aktivitas yang dilakukan Rahyang.

“Mumpung masih muda. Ambil kesempatan sebanyak mungkin… ” begitu katanya.

Anyway, apa yang dikatakan Rahyang memang benar. Jangan cuma jadi kupu-kupu. Apalagi kunang-kunang (kuliah-nangkring, kuliah-nangkring). Saya pun mengikuti nasihatnya. Maka, saya pun mulai aktif berorganisasi. Mengikuti kepanitiaan ini-itu. Saya juga terdaftar sebagai anggota aktif forum mahasiswa hukum se-Indonesia. Saya juga mati-matian mempertahankan IPK di atas 3,5. Saya tidak mau kalah dari Rahyang. Saya bangga punya pacar sehebat Rahyang. Dia pun harus bangga punya pacar seperti saya.

Desember, satu tahun yang lalu.

Saya selalu suka bulan Desember. Bukan, bukan karena bulan ini saya berulang tahun (for your information, I was born on May). Banyak hari penting di bulan ini. Dari mulai peringatan hari AIDS, hari anti korupsi, hari ibu, sampai peringatan Hak Asasi Manusia. Biasanya, fakultas saya mengadakan event yang berhubungan dengan hari-hari penting itu. Ya, inilah kesempatan saya untuk ikut andil dalam kegiatan tersebut. Dan kali ini saya menjadi panitia peringatan hari HAM. Saya suka sekali menjadi bagian dari kepanitiaan ini. Selain tujuan acaranya bagus, konten acaranya juga tidak membosankan. Bukan hanya berisi seminar, talkshow, dan diskusi yang bikin kepala mumet karena pelanggaran HAM yang makin sering terjadi di negara ini, melainkan juga berisi hal-hal yang digemari anak muda pada umumnya; ada pertunjukkan musik dari band indie yang sedang populer, musikalisasi puisi, tari-tarian, pertunjukkan teater, lomba fotografi, lomba menulis essay, serta lomba mendesain kaos.

Setelah persiapan selama kurang lebih dua bulan, event peringatan HAM pun digelar pada 10 Desember. Saya masuk divisi marketing yang memang sibuk sebelum hari H. Jadi hari ini, saya lebih banyak menikmati acara ketimbang bekerja. Sambil menunggu acara selanjutnya, saya pun berjalan keluar aula. Saya berjalan ke loby, bermaksud melihat-lihat karya para finalis lomba fotografi yang dipajang di sana.

Ada sepuluh foto yang dipajang di sana. Semuanya mengusung tema yang sama:Hak Asasi Manusia. Lalu sampailah saya pada sebuah foto yang dipajang di paling kiri ruangan. Saya mengamati foto itu dengan seksama.Dari semua foto yang terpajang, saya paling suka foto ini. Sepertinya foto ini paling “bernyawa”. Dalam foto itu terdapat seorang ibu, sepertinya berumur tiga puluhan, beserta dengan dua orang anak lelaki. Si ibu menggendong seorang balita yang tengah menangis. Anak satunya lagi,yang sepertinya berumur tak lebih dari sepuluh tahun, berjalan di sebelah ibunya sambil menguap. Mungkin si anak baru bangun tidur. Dahi si ibu terluka dan mengeluarkan darah. Sepertinya si ibu baru tersungkur atau kejeduk. Entahlah. Pipi kirinya lebam, seperti baru dipukuli.Melihat foto itu, pikiran saya langsung berkelebat tak tentu arah. Mata saya tiba-tiba berkaca-kaca. Dengan mata nanar, saya melihat sebuah kertas kecil yang tertempel di bawah foto tersebut.

Judul: Escape

Karya: Cakrawala Madya Putra

“Wah, ada panitia yang lagi merhatiin foto saya. Lagi dinilai ya Mbak?” tanya sebuah suara di belakang saya.Saya kaget dan buru-buru menghapus air mata yang hampir jatuh ke pipi.

“Sayang jurinya bukan dari panitia Mas, tapi di datangkan langsung dari sekolah fotografi Darwis Triadi…” jelas saya sambil menoleh ke belakang. Saya terpaku ketika melihat sosok orang tersebut. Sepertinya orang ini tak asing. Sepertinya saya pernah melihat orang ini. Tapi dimana ya? Orang di depan saya pun sepertinya sedang mengingat-ingat. Dia mengernyitkan dahi dan menatap wajah saya lekat-lekat.

“Kayaknya saya pernah ketemu Mbak deh…Tapi dimana ya?”

“…”

“…”

Aha!

“Di travel! Novel Little Prince! Ingat?” seru saya sambil setengah berteriak.

“Oh,Iya! Benar! Mbak yang ketemu di travel! Wah, wah, wah…nggak nyangka ya bisa ketemu di sini! Mbak kuliah di Hukum ternyata?”

“Iya! Kebetulan sekali ya Mas…Iya, saya kuliah di sini. Mas sendiri di jurusan apa?”

“Oh, saya sih bukan kuliah di sini…saya kuliah di FSRD, ngambil DKV. Kebetulan saya tau ada lomba fotografi di sini, ya iseng aja ikutan. Kali menang kan lumayan hadiahnya…”

“OH, kamu suka fotografi ya?”

“Ya lumayan, mengisi kekosongan aja sih…”

“Ini…ini karya kamu?”

“Iya. Kenapa? Aneh ya?”

“Nggak, bagus kok. Bernyawa. Saya nggak terlalu ngerti fotografi sih…Tapi kalau saya jadi jurinya, saya pasti milih foto kamu sebagai juaranya.”

“Ah, kamu berlebihan…foto lain lebih bagus-bagus! Oh ya, saya Cakra.” ujar lelaki itu sambil mengulurkan tangannya.

“Saya Lysabrina. Panggil aja Lysa,” jawab saya sambil membalas uluran tangannya.

“…”

“…”

“Eh,kok bisa dapet foto kaya gitu? Ini bukan rekayasa kan? Jangan-jangan kamu bayar orang untuk difoto kayak gitu.”

“Hahahaha, enak aja! Haram hukumnya merekayasa foto. Semua terjadi secara kebetulan. Hmm, tapi saya rasa itu bukan kebetulan juga sih. Saya percaya kalau everything happens for a reason. Saya berada di tempat itu, hari itu, pada jam itu, lalu melihat seorang ibu membawa anak-anaknya dengan keadaan terluka, kemudian memotretnya,apakah itu sebuah kebetulan? Saya rasa tidak…Bahkan, orang yang duduk di sebelah kita ketika naik angkot pun bukan kebetulan. Semua sudah ada yang mengatur… “

“Dan apa kabar dengan pertemuan tidak sengaja kita? Dua kali pula! Apakah itu kebetulan? Saya rasa juga tidak…”

“Hahahaha. Kamu betul. Kenapa dari semua foto yang terpajang,kamu memerhatikan foto saya?”

“Iya, betul! Dan kejadian di travel itu…hahahahaha. Aneh juga ya? Nggak masuk akal!”

“Iya…”

“Eh, eh, kayaknya si MC lagi mengumumkan pemenang lomba deh…”

“Oh ya? Ya udah kita masuk ke dalem aja yuk…”

Kami pun memasuki aula. Memang benar, sang MC sedang membacakan para pemenang lomba.

“Masih ngumumin pemenang desain nih…” seru Cakra.

“Iya. Eh, foto itu, hmmm, ibu itu…dia kenapa luka-luka gitu?”

“Dipukulin suaminya.Dan hari itu dia memutuskan untuk keluar dari rumahnya. Mengakhiri penderitaannya. Makanya saya memberi judul ‘escape’ pada foto tersebut…”

“KDRT…Hhh…ya, tiap perempuan punya hak untuk dihargai. Hak kesetaraan gender…”

“Termasuk HAM juga kan?”

“Ya iya dong…eh, itu, si MC lagi ngumumin pemenang foto…”

“Wah…deg-degan nih saya…”

“Hahahaha…”

Dan juara satu untuk lomba fotografi adalah…Foto dengan judul…wah, pasti kalian udah nggak sabar ya…??? Pemenangnya adalah…Ohya, sebelumnya, pemenang akan mendapatkan hadiah sebesar lima juta rupiah…wah, lumayan banget kan…pemenangnya adalah…foto dengan judul...ESCAPE karya Cakrawala Madya Putra…Tepuk tangan untuk pemenang…dan untuk Cakrawala silakan naik ke atas panggung…

“Wah! Apa kata saya! Kamu menang…Selamat ya…”

“Wow, saya menang!!! Saya naik ke atas panggung dulu ya…Kamu jangan kemana-mana!”

Lelaki bernama Cakra itu pun naik ke atas panggung.

“Lysa,lo kemana aja? Gue cariin dari tadi… Eh anter gue dulu ke rumah makan…” tiba-tiba Tasya, koor Marketing saya, muncul dari arah belakang.

“Hah, ngapain?”

“Iya nih ada sedikit masalah sama rumah makan itu. Waktu kemarin kan di MOU-nya mereka deal buat ngasih makan panitia dan pengisi acara sebanyak 100 dus. Eh nggak taunya cuma dikasih 85 dus! Makanya sekarang mau protes ke rumah makan itu…Ayo cepet, gue udah kesel banget nih…”

“Hmm…ya udah deh yuk…” jawab saya setengah hati. Ah, kenapa sih harus ada masalah di tengah acara begini!Saya pun membuntuti Tasya ke arah parkiran.

Dari kejauhan saya melihat Cakra menerima hadiah dan berfoto bersama.

Tak lama berselang, Cakra turun dari panggung. Ia kemudian berjalan ke tempat ia dan Lysa berdiri tadi. Ia ingin berbagi kebahagiaan dengan perempuan bernama Lysa itu. Namun ketika sampai ke tempat semula, orang yang dicari sudah tidak ada. “Oh, mungkin Lysa sedang ke toilet,” pikir Cakra. Semenit, dua menit, lima menit ia menunggu, tapi Lysa tidak juga kembali ke tempat itu. Ia pun mencari ke seluruh aula.Tapi perempuan itu benar-benar hilang. Entah pergi kemana.

Monday, February 8, 2010

Aku Rindu Suara Vespamu

Barusan aku mendengar suara knalpot vespa di depan rumah. Aku kaget. Sambil takut-takut, aku mengintip dari jendela. Jauh di dalam hatiku, aku berharap suara bising itu datang dari knalpot vespamu. Ternyata bukan. Hanya sebuah vespa lewat. Kemudian aku menutup tirai dengan hati kecewa. Ah, apa sih yang aku pikirkan? Kok bisa-bisanya aku berpikiran bahwa itu suara knalpot vespamu? Kok bisa-bisanya aku berpikiran bahwa kamu akan datang ke rumahku lagi untuk, misalnya, meminta maaf? Atau setidaknya bersilaturahmi denagan ayah ibuku? Kamu memang terlalu banyak berimajinasi, Risa! Pekikku dalam hati.
….
….
….
Sudah berapa bulan tepatnya aku tak lagi mendengar suara knalpot vespamu itu? Sepuluh bulan? Setahun? Ah, sungguh aku tak mau mengingat-ingat lagi. Tapi memori itu masih sering berputar di otakku. Aku ingat betul kapan terakhir kali ku mendengar suara knalpot vespamu. Kamu datang ke rumahku dengan vespa hitam kesayanganmu. Tak ada senyuman dan tatapan mesra seperti biasanya. Pertengkaran hebat sehari sebelumnya membuat semua hilang tanpa bekas.
Malam itu…
Malam terakhir aku melihat vespa hitam yang penuh stiker di bagian depannya itu terparkir di depan rumahku.
Malam terakhir sebelum semuanya berubah.
Hhh…

Kadang aku rindu. Bukan saja padamu. Tapi juga pada Ojes. Pada suara knalpot bisingnya yang kadang mengganggu. Pada mesin tuanya yang gampang ngadat hingga kamu harus sering bulak-balik bengkel. Aha, aku juga ingat penyakit langganan Ojes: MOGOK! Pernah suatu hari, ketika kita hendak kencan, penyakit Ojes kambuh. Alhasil, kita kencan di bengkel sambil menunggu si montir mereparasi Ojes. Dan sudah berapa kali kamu meminjam kunci inggris dan segala alat lainnya ke ayahku ketika Ojes tak bisa di starter? Tapi kamu keukeuh. Tak mau memensiunkan Ojes.

“Ojes sudah jadi bagian dari hidupku, Sa! Demi tuhan mana mungkin aku tega menjualnya…,” begitu katamu. Ya. Aku tahu Ojes sangat berarti bagimu. Aku tahu Ojes dibeli dari uang hasil keringatmu sendiri. Aku tahu kalau kamu sangat menyanyangi Ojes.Bahkan mungkin kamu lebih menyanyangi Ojes ketimbang aku. Selama tiga tahun bersamamu, kadang aku cemburu pada Ojes. Karena kamu begitu perhatian padanya. Tapi selebihnya, aku sangat berterima kasih pada Ojes. Bagaimanapun dia juga telah menjadi bagian dari kisah kita.

Ojes, kamu apa kabar? Bagaimana kondisimu sekarang? Apa masih sering mogok? Apa sekarang kamu masih mengantar Dani kemana-mana sendirian? Atau sudah adakah yang menggantikanku duduk di jok belakangmu? Oh, Sunguh aku rindu suara knalpotmu, Jes.

Friday, February 5, 2010

Para Pendekar yang (Tak Lagi )Pesimis

Saya selalu beranggapan jika persahabatan yang terjalin di sekolah menengah hanyalah short-term friendship. Ketika memasuki dunia kampus,apalagi jika tak sejurusan atau tak sekampus,persahabatan itu akan memudar. Rasa seiya sekata itu akan menguap. Wajar saya pikir. Ketika di sekolah menengah,kita pergi kemana-mana bersama. Bahkan ke toilet pun bersama-sama. Begitu kuliah,jangankan kemana-mana bareng,ketemu saja jarang. Maka intensitas memang menjadi dalih yang paling kuat atas melemahnya persahabatan tersebut.

Benarkah ini hanya soal intensitas kebersamaan yang semakin berkurang? Ataukah ada kenyataan lain? Yang paling nyata adalah adanya sahabat-sahabat baru di tempat baru sehingga kita sedikit melupakan sang kawan lama. Saya rasa banyak dari kita yang mengangguk setuju. Tak masalah saya pikir. Toh faktanya merekalah-sahabat baru itulah- yang paling sering bersama kita. Paling tahu aktivitas dan kehidupan baru kita.

Berbicara mengenai sahabat sewaktu sekolah menengah, saya jadi ingin berbagi soal ini.


Soal mereka.

Saya bertemu mereka ketika duduk di bangku SMA. Sebuah hubungan yang awalnya terjalin karena merasa senasib. Termarjinalkan. Ya,seperti yang kita tahu,remaja ketika itu hanya mau berdekatan dengan mereka yang cantik atau ganteng,kaya,dan populer. Kelak remaja-remaja itu sadar bahwa ‘persahabatan’ macam itu hanya ilusi,palsu,dan sesaat. Hey, bukan berarti kami secupu dan seterbelakang itu. Kami potensial. Hanya ketika itu-kalau kata pepatah-kami bagai mutiara yang masih tertutup dalam lumpur. Saat itu,karena begitu labilnya,kami menamai diri PENDEKAR KAUM PESIMIS. Nama itu diambil dari pernyataan seorang filsuf yang beraliran pesimistis. Namanya Walt Whiltman.

Awalnya,saya pikir persahabatan ini akan sama saja seperti persahabatan masa remaja lainnya. Kemana-mana bareng. Bahkan kalau bisa gaya dan cara berpakaian harus sama. SERAGAM.SERUPA. Oh dan jangan lupa dengan istilah ‘musuh satu orang berarti musuh semua’. Blablabla… Saya percaya dengan pernyataan yang mengatakan bahwa kedekatan seseorang dengan yang lainnya bermula dari kesamaan yang mereka miliki. Tapi bukan berarti kita harus serupa dengan sahabat kita kan?

Beruntunglah saya bertemu mereka. Kami yang luar biasa berbeda satu dengan yang lainnya. Dari mulai cara berpakaian sampai selera musik berbeda. Awalnya memang terasa janggal. Tapi kami berusaha untuk tidak membahas perbedaan itu. Di situlah kami berusaha mengerti. Berusaha memahami dan menghargai. Kelak saya sadar bahwa mungkin inilah bentuk kasih sayang kami. Dengan tidak menghilangkan perbedaan itu. Perbedaan yang mencirikan kami tetaplah seorang individu,meskipun hidup bersosialisasi. Tak jarang kami saling mentransfer perbedaan-perbedaan itu sebagai bukti penghargaan kami. Itung-itung menambah ilmu baru. Tak ada salahnya juga kan?

Lalu apa yang membuat kami cocok selain sama-sama hobi makan bakso dan nyanyi-nyanyi? Hmm,mungkin karena kami suka tertawa. Kami adalah tipe humoris yang suka mengeluarkan lelucon yang lucu. Setidaknya bagi kami. Lelucon dan guyonan -yang kadang tak dimengerti oleh orang lain saking anehnya- itulah yang mungkin mempersatukan kami. Oke. Kami memang berbeda. Tapi kalau sudah becanda,semuanya jadi nyambung. Sepertinya kami memang punya radar khusus untuk saling mengerti satu sama lain ketika sedang bercanda.

Kekuatan lainnya adalah kami tidak pernah mengekang. Kami tidak pernah melarang. Ya,kami memang bersahabat. Tapi bukan berarti kami hanya stuckdi sini. Bukan berarti kami tidak boleh berteman dengan yang lainnya. Bukan berarti kami berhak mencampuri setiap urusan personil kami.Silakan. Lakukan apapun yang kami mau. Kalaupun terjadi sesuatu yang tidak diharapkan, itu adalah konsekuensi yang harus kami hadapi. Toh kami sudah bergerak dewasa. Tentu kami punya pertimbangan atas apa yang akan kami lakukan. (tapi belakangan ini saya sering berpikir. Kami adalah sahabat. Tak ada salahnya untuk memperingati jika ada yang salah. Mungkin mekanisme layangan bisa dicoba. Ulur setinggi mungkin. Biarkan melayang. Tarik ketika memang layangan itu akan jatuh…bagaimana dengan teori itu kawan-kawan?)

Apakah persahabatan kami seideal itu? TENTU TIDAK. Kami bukan makhluk setengah dewa. Kami juga kadang saling mengecewakan. Kadang berbeda persepsi. Seringnya kami terlalu cuek satu sama lain (karena pada dasarnya kami memang tipe cuek). Kami juga masih suka jalan-jalan,makan-makan, dan bergosip tentang lelaki.
Lalu apa yang menjadi begitu berbeda?

Seperti yang sudah dijelaskan,saya selalu beranggapan persahabatan semasa SMA hanya sesaat. Ternyata tidak. Bahwa sampai saat ini kami masih bisa keep in touch -walau berbeda universitas,bahkan sudah ada yang merit- adalah sebuah kebanggan tersendiri bagi saya. Bahwa sampai sekarang mereka masih orang yang paling mengerti dan tak pernah menghakimi adalah kekuatan tersendiri bagi saya.

Lebih dari itu, persahabatan ternyata bukan soal seberapa lama kita saling mengenal. Seberapa sering intensitas pertemuan kita. Seberapa mirip kita dengan sahabat. Bagi saya,persahabatan bisa terjalin ketika kita tetap saling menghargai perbedaan. Tak saling menghakimi. dan kesediaan untuk saling berbagi di bawah atap ketulusan.





Mungkin kalian tidak pernah tahu. Tapi aku benar-benar merasa beruntung punya kalian. semoga terus seperti ini. Dan satu hal,kita bukan lagi pendekar pesimis. kita adalah pendekar POPULER NAN POTENSIAL. hahaha. para mutiara itu tak lagi tertutupi lumpur. untuk meong,peyot,chao,depong,momy fitri und our beloved niece nilam, dan anggota ‘baru’ juju brontok. selalu sukaria =p

PEDULI

peduli. satu kata yang menurut saya sangat mahal harganya. tapi masih saja ada orang-orang yang menyepelekannya. padahal kepedulian adalah sifat istimewa yang pernah tuhan berikan pada manusia.apa karena kepedulian itu tidak berbayar sehingga banyak yang tak mengaggungkannya? dianggapnya kepedulian hanya seonggok barang yang diobral di pinggir jalan. serendah itukah pemahaman mereka akan kepedulian? ada yang peduli. ada yang tidak. sial bagi mereka yang mencoba peduli pada mereka yang tak mau peduli. sayang. padahal kepedulian tak punya salah. tapi selalu dipermasalahkan.

CENAYANG

saya bukan cenayang yang bisa memprediksi apa yang akan terjadi di kemudian hari. dulu saya sempat kepingin jadi cenayang. bisa tahu apa yang akan terjadi di masa depan,bisa membaca pikiran orang, bahkan mungkin bisa bertelepati dan melakukan sejenis pelet atau guna-guna merupakan keahlian yang luar biasa. keren membayangkan kita bisa tahu lebih dulu ketimbang orang lain. ada kebanggaan tersendiri jika kita bisa mengetahui pikiran orang lain.sepertinya dunia ada di genggaman kita. selama itu pula saya selalu berpikir bahwa firasat saya kuat. saya seperti bisa membaca apa yang akan terjadi lewat intuisi yang saya miliki. kelak saya tahu bahwa semua itu hanya kebetulan semata. bukan karena gift atau six sense yang tuhan beri.

Menunggu

kapan kamu datang?

atau tidak akan pernah sama sekali?

sudah hampir habis dayaku.

menunggu sambil terus menyulam untaian harap.

aku lebih sering bicara pada cermin karena tak punya lawan bicara.

kapan kamu datang?

atau tidak akan pernah datang sama sekali?

sepucuk surat pun tak pernah kamu layangkan padaku.

atau memang kamu tidak akan pernah datang sama sekali?

kalau memang begitu,beri aku tanda.

biar aku berhenti menunggu.

Kamu dan Jaket Jeans Lusuhmu

Hey, tuan!

Sadarkah kamu bahwa jaket itu sudah tak layak pakai?

Warnanya sudah memudar. Beberapa kancingnya sudah lepas. Belum lagi tambalan perca di sana-sini. Oh, dan wanginya itu…..SUNGGUH APEK!

Tapi kamu keukeuh mempertahankan jaket jeans lusuhmu itu. Kata kamu jaket jeans itu interpretasi dari dirimu sendiri.

BAH!

Bagaimana kamu bisa berpikir jaket lusuh itu interpretasi dirimu sendiri?

Jelas-jelas jaket jeans itu adalah jaket terjelek yang pernah saya lihat. Dan saya jamin, tak ada satu pemulung pun yang mau mengambilnya.

Oh,

Apakah kamu tak mampu membeli jaket baru?

Ah, rasanya tak mungkin.

Okelah,

Saya akan memberimu jaket jeans baru.

Hitung-hitung tanda terima kasih saya pada kamu.

Dan bukankah saya belum memberi hadiah di ulang tahunmu kemarin?

Kemudian, saya pergi mencari jaket jeans baru untukmu.

Kamu sangat berterima kasih ketika saya memberikannya padamu.

Tapi apa yang terjadi?

KAMU TAK PERNAH MEMAKAINYA!

Sialnya,

KAMU TETAP MEMAKAI JAKET JEANS LUSUH DAN APEKMU ITU!

Ah, dasar makhluk EGOIS dan KERAS KEPALA!

Apa salahnya sih mendengarkan masukan dari orang lain?

Lalu kamu berkata:

Apa mengganti jaket begitu penting?

Ya, TENTU SAJA. Apalagi dengan kondisi jaketmu yang sudah tak karuan itu.

Kamu berkata:

Tapi saya sudah nyaman memakai jaket ini. Apakah saya harus menggadaikan kenyamanan saya demi sesuatu yang baru? Demi sesuatu yang bahkan belum tentu nyaman ketika saya memakainya?

Bagaimana kamu tahu jaket itu nyaman atau tidak kalau kamu tidak mencobanya?

Kamu mejawab:

Saya rasa saya tidak perlu mencobanya. Saya sudah merasa puas dengan jaket jeans saya. Selusuh dan sejelek apapun kondisinya.

Tapi belum tentu orang akan berpendapat sama. Lihat jaketmu, sudah lusuh, apek pula!Sungguh tak enak dipandang!

Kamu berseru:

Haruskah saya memedulikan pendapat orang lain? Saya punya hak atas diri saya. Atas apa yang akan saya pakai.

Tapi sayangnya kamu tidak hidup sendiri. Kamu tidak bisa seenaknya sendiri. Lagian apa salahnya sih mencoba sesuatu yang baru? Kalau toh kamu tak menyukainya, kamu bisa menggantinya dengan yang lama. Iya kan?

Kalau pada akhirnya saya tak menyukai dan memilih untuk memakai jaket jeans saya yang dulu, kenapa saya mesti repot-repot mencoba yang baru?

Ah, kamu ini! Memang susah dikasih tahu.

SAYA CEMBURU

saya cemburu.

pada mereka yang bisa bijaksana.

saya cemburu.

pada mereka yang bisa melihat segala sesuatu dengan objektif.

saya cemburu.

pada mereka yang tak seenaknya menghakimi orang.

saya cemburu.

pada mereka yang dengan lantang berkata TIDAK ketika hak mereka akan dicuri.

saya cemburu.

pada mereka yang peduli pada semua orang.

saya cemburu.

pada mereka yang tidak mau disamakan dengan orang lain.

saya cemburu.pada mereka yang tegar dan kuat menghadapi apapapun.

saya cemburu.

pada mereka yang tidak mau jadi orang lain.

saya cemburu.

pada orang yang berani berkata

SAYA BANGGA MENJADI DIRI SAYA SENDIRI.

SENJA

saya hanya ingin melihat senja.

lengkap dengan romansa yang terkandung di dalamnya.

goresan-goresan warna yang terlukis nyata di tiap jengkalnya.

hangat.romantis.sekaligus penuh misteri.

saya ingin melihat senja.sekali lagi saja.

biar saya tahu.

tuhan pernah menciptakan sesuatu yang sempurna.

Mas, Ayo Pulang!

mas, ayo pulang!

mas,tidak lelahkah kamu?

terus mencari sesuatu yang utopis.

mas,saya kasihan sama kamu.

sepertinya kamu labil.

sepertinya kamu terus mencari tanpa tahu apa sebenarnya yang kamu cari.

mas,sudahlah!

jangan terlalu memaksakan diri.

sebaiknya kamu pulang.

siapa tahu yang kamu cari sebenarnya ada di sana.

tetapkanlah dulu tujuanmu mas sebelum pergi.

biar kamu tak kelimpungan seperti ini.

Saya Ingin Mencintai

saya ingin mencintai

bukan sesuatu yang abstrak

atau absurd seperti ini

saya ingin mencintai

sesuatu yang nyata

bukan sesuatu yang nihil

sesuatu yang memiliki massa

sesuatu yang bisa dicium wanginya

sesuatu yang bisa diraba

bukan imajiner seperti ini

saya ingin mencintai

tidak dengan cara seperti ini

Berbeda

saya terlampau skeptis sekarang. atau terlalu terjerumus hingga sulit bangkit? saya ingin menjadi berbeda. mengalami rasa yang berbeda. melihat warna yang berbeda.mencium wangi yang berbeda. saya tak mau terkurung di sini. menjadi perempuan lemah yang tak punya daya. terlalu banyak hal yang terjadi. terlalu lelah untuk sekedar menghirup udara baru. saya masih terjerembap. saya pikir akan ada yang menolong. ya.memang ada.tapi rupanya ekspektasi saya terlalu berlebihan. pada akhirnya saya memang yang harus menentukan. dan mungkin saya memang terlampau skeptis sekarang. atau terlalu terjerumus.

Logika VS Perasaan

sayangnya,saya adalah perempuan yang selalu menggunakan hati ketimbang otak. kadang bagus. melatih kepekaan.tapi kadang juga jadi merasa sesak sendiri. sayangnya saya terlalu sering mempercayai hati ketimbang otak. jadi meskipun si otak-dengan logical statementnya- sudah teriak-teriak untuk sadar dan menyudahi semua ini, saya tak akan menggubrisnya. logika mencibir saya terus.dia bilang saya makhluk paling tolol. si perasaan bilang kalau saya harus bertahan. sedikit lagi saja. karena tak ada yang tak mungkin di dunia ini. saya cuma geleng-geleng kepala. ah,tak taulah.

Saya Takut

oke.tulisan ini memang akan kemana-mana dan ngawur. jadi jangan salahkan jika setiap alineanya tak berkesinambungan. akhir-akhir ini pikiran saya kacau. mood swing is comin.entahlah.terlalu banyak hal-hal yang harus dipikirkan. sayangnya otak saya hanya ada satu.jadi tak bisa dibagi-bagi. apa yang saya inginkan? apa yang saya takutkan?bagaimana dengan masa depan saya?kira-kira begitulah pertanyaan yang sering muncul belakangan ini. hmm,apa pertanyaan ini selalu muncul pada perempuan yang akan menginjak kepala dua?ketakutan dan keraguan akan hidupnya di masa depan?saya takut. sangat takut. saya punya ekspektasi begitu besar terhadap diri saya sendiri.juga ekspetasi besar pada tuhan. juga lingkungan. juga tiap-tiap elemen yang akan mendukung kehidupan masa depan saya. tapi bagaimana jika ekspetasi itu tak tercapai?apa yang harus saya lakukan?akan kemana saya?

Cakra dan Lysa : I Remember (edisi 1)

September, setahun yang lalu

Saya Lysabrina Alveriza. Usia saya hampir menginjak 20 tahun. Saya mahasiswi fakultas hukum di sebuah universitas negeri di daerah Dipati Ukur, Bandung. Semester ganjil baru saja dimulai. Dosen-dosen pun tak lagi memberikan kesempatan bagi kami untuk berleha-leha. The holiday is over, let’s back to the reality. Let’s face the world with those of assignments, exams, and blablabla. Welcome to the third semester. Some people say, this is the truly hell. Watch out, you’ll be burned!!! (and today I realized that third semester was just gate to the truly hell. Well, the next semester is 1000 times hotter than that)

“Semester satu-dua sih Cuma pemanasan aja. Kalian masih adaptasi dari masa SMA ke masa perkuliahan. Nggak ada apa-apanya itu mah…” begitu kata seorang senior.

Baru beberapa minggu kuliah, kami sudah disuguhi berbagai tugas. Dari mulai melihat dan melaporkan proses persidangan di pengadilan, mempelajari hukum-hukum yang berlaku secara internasional, menganalisis perbedaan hukum syariat islam dengan hukum positif, dan sebagainya.

Tugas pulalah yang menyebabkan saya berada di sini. Di sebuah travel agent. Bukan untuk jalan-jalan. Beberapa jam lagi saya akan pergi ke Jakarta. Saya harus mewawancarai seorang pengacara terkenal di sana. Saya juga harus meninjau sebuah law firm dan menganalisis kinerja perusahaan mereka.

Sama sekali bukan tugas yang menyenangkan. Tapi apa lacur, saya tetap harus melakukan ini. Demi nilai A (atau setidaknya B). Demi IPK. Demi liburan yang sebisa mungkin tak terganggu Semester Pendek. Demi lulus tak lebih dari lima tahun. Demi masa depan gemilang nan cemerlang.

Sialnya lagi, saya harus berangkat seorang diri dari Bandung. Sebenarnya tugas ini dikerjakan secara berkelompok. Setiap kelompok terdiri dari tiga orang. Tapi kedua teman saya tak bisa pergi bersama-sama. Satu orang datang belakangan karena harus menghadiri acara keluarga terlebih dahulu. Seorang lagi sedang pulang kampung ke rumahnya di Jakarta. Jadi kami akan langsung bertemu di sana.

Sambil menunggu mobil datang, saya membunuh waktu dengan membaca buku. Membaca telah menjadi hobi saya sejak kecil. Yes, maybe I’m sort of book worm. Saya membaca segala jenis buku. Dari mulai komik sampai buku filsafat. Dari mulai novel percintaan sampai novel bertemakan perang. Saya termasuk orang yang percaya pada pepatah klise, “buku adalah jendela dunia.” Lewat buku Tetralogi Bumi Manusia saya tahu kehidupan masyarakat Indonesia sebelum merdeka. Lewat buku Jakarta Undercover saya tahu bagaimana realita kehidupan metropolitan. Lewat komik Conan saya tahu bagaimana menyingkap misteri sebuah pembunuhan. Lewat novel Ayat-Ayat CInta saya belajar ketulusan cinta dan keikhlasan. Lewat buku Pengantar Ilmu Hukum saya banyak tahu soal hukum. Se-“kacangan” apapun bukunya, pasti ada pelajaran yang dapat diambil dari buku tersebut. Kita jadi tahu bagaimana membuat buku yang bagus karena sudah ada contoh yang kurang bagus. Hahahaha. Becanda!

Saya mengeluarkan Le Petite Prince dari dalam tas. Buku ini tampak lecek. Sampul plastiknya kusam. Begitu membuka halaman pertama, ada tanda tangan saya yang sudah tak jelas wujudnya di pojok kanan bawah halaman. Adik saya tanpa sengaja pernah menumpahkan susu ke buku tersebut. Alhasil, tanda tangan saya jadi luntur. Buku favorit saya pun jadi kumel. Saya kesal sekali waktu itu. Sampai menangis sejadi-jadinya. Akhirnya ibu membelikan saya buku yang sama. Buku itu sekarang berada di tempat yang aman dan tak kan pernah ketumpahan susu lagi.

Saya suka sekali buku ini. Sudah puluhan kali saya membacanya. Tapi saya tak pernah bosan. Buku ini sudah seperti sahabat saya sendiri. Setiap kali akan berpergian jauh, buku ini selalu menemani. Kadang saya merasa seperti Si Pangeran Kecil yang tinggal sendiri di sebuah planet dan hanya ditemani setangkai bunga mawar. Kadang saya merasa seperti si pilot yang terdampar di padang pasir.

“Mbak, Mbak?” seru sebuah suara. Saya cuek saja. Fokus membaca.

“Mbak, Mbak yang lagi baca buku!” panggil suara itu sekali lagi. Saya menoleh.

“Saya?” jawab saya sambil menunjuk ke diri sendiri.

“Iya, Mbak. Siapa lagi?” Kata lelaki yang duduk tak jauh dari saya. Saya mengedarkan pandangan. Hanya ada lima orang di ruangan ini. Saya, lelaki yang barusan memanggil saya, seorang bapak di seberang saya yang sedang sibuk menelpon, serta sepasang kekasih yang sedang ngobrol sambil cekikikan di pojok sana.

“Mbak lagi baca Little Prince ya?” ujarnya sopan sambil tersenyum. Little Prince merupakan judul versi inggris dari Le Pettite Prince yang dibuat oleh penulis asal Prancis.

“Iya, kenapa emangnya Mas?” tanya saya. Lelaki itu langsung mengangkat buku (saya baru ngeh dia juga sedang membaca buku) yang terletak di pahanya dan memperlihatkan sampul buku tersebut.

FOR GOD’S SAKE, HE ALSO READ LE PETITE PRINCE!!!

Kami saling berpandangan dan kemudian tertawa.

“Kok saya nggak sadar Mas lagi baca buku itu ya?”

“ Mungkin karena bukunya saya lipat. Jadi sampulnya nggak keliatan…”

“Hahaha, bisa jadi. Tapi memang kadang saya cuek dengan keadaan sekitar kalau lagi asyik sendiri. Mas suka buku itu juga?”

“Saya baru baca setengahnya nih. Jadi belum bisa memutuskan saya suka atau nggak sama buku ini. But so far, it’s quite good. Banyak pelajaran yang saya dapet. Kalo Mbak gimana? ”

“Wah kalau saya sih suka banget sama buku ini. Salah satu favorit saya!”

“Pantesan lecek gitu Mbak bukunya. Pasti karena keseringan dibaca ya? Hahahaha ”

“Ya gitu deh. Ditambah saya yang jorok, jadi beginilah keadaannya. Ahahaha,”

“Hahahaha,”

“Mas udah sampe mana bacanya?”

“Saya baru baca sampai ketika si pangeran kecil ketemu raja-raja yang aneh itu,”

“Emang sih aneh. Tapi itu merepresentasikan tipe manusia yang ada di bumi. Hehehehe, ”

“Iya sih,”

Tiba-tiba seorang petugas travel mendekati kami.

“Mas naik yang ke arah Cempaka Putih ya? Mobilnya sudah datang… ” terang petugas tersebut. Lelaki itu pun mengangguk. Memasukkan buku ke dalam tas ranselnya, mengikat rambut sebahunya, kemudian bamgkit dari kursi.

“Mbak saya duluan ya. Mobilnya udah dateng ternyata,”

“Oke. Hati-hati di jalan Mas. Selamat membaca buku Little Prince-nya ya…dijamin nggak akan menyesal! Hehehehe” ujar saya sambil terkekeh.

“Makasih Mbak. Mari,” jawabnya sambil keluar ruangan.

Kelak kami tahu bahwa pertemuan itu bukanlah kebetulan semata.

Cakra dan Lysa: I Remember

I remember the way you red your books

Yes I remember

The way you tied your shoes

Yes I remember

The cake you loved the most

Yes I remember

The way you drank your coffee

I remember-Mocca

Saya ingat.

Saya ingat semua peristiwa yang kami lalui.

Saya ingat setiap kata yang pernah ia ucapkan.

Saya ingat betul wanginya.

Saya ingat betul gerak-geriknya.

Saya ingat betul caranya berbicara.

Saya ingat caranya tertawa.

Saya ingat cara merokoknya yang khas.

Saya ingat mimiknya ketika ia sedang bermain gitar.

Saya ingat ekspresinya saat hunting foto.

Saya ingat betul dengan semua ejekan yang ia tujukan pada saya.

Saya ingat betul caranya menghibur saya ketika sedang sedih; melakukan senam aneh atau menyanyikan soundtrack Doraemon dengan suara dibuat seperti orang cadel.

Saya ingat caranya mengikat rambut sebahunya.

Saya ingat kebiasaanya mencubit hidung saya ketika ia merasa gemas.

Saya ingat ekspresi seriusnya ketika berbicara tentang hidup.

Saya ingat kebiasannya yang suka narsis.

Saya ingat warna favoritnya.

Saya ingat siapa gitaris dan fotografer kesukaanya.

Saya ingat apa makanan favoritnya.

Saya ingat betul kamar kosannya yang kecil tapi nyaman.

Saya ingat tatapan matanya.

Saya ingat kebiasaannya yang selalu membuat kejutan.

Saya ingat betul pertama kali kami bertemu. Bahkan, saya masih ingat pakaian yang dikenakannya ketika itu.

Saya ingat.

SAYA INGAT!

Kenapa saya harus ingat semuanya? Sampai detil-detilnya? Apa karena dia istimewa?

Yes, he is special. He is damn precious. But just like I’ve said, in a different way. And I am really sure that rational things can’t accept this. Irrational things neither. Don’t ask me why, coz I’m still figuring out what’s happening here, inside my heart.

Lagu milik Mocca diputar berulang kali. Sambil mendengarkan lagu itu, pikiran saya melayang. Melesat masuk ke zona kenangan. Saya pun asyik bermain di dalamnya. Berharap rasa sesak ini sedikit terobati lewat kenangan yang saya miliki bersama Cakra.

Cakra dan Lysa: Petuah Dari Morrie

Salah satu buku favorit saya adalah Tuesdays with Morrie karya Mitch Albom. Aha, siapa yang tidak menyukai buku penuh inspirasi ini? Namun jika ada di antara kalian yang belum pernah membacanya, I highly recommended this book. Buku ini bercerita tentang “perkuliahan” yang diikuti Albom (yeah, this book is based on true story) pada dosennya, Morrie. Namun ini bukan sekedar perkuliahan. Untuk mengikuti kelas tersebut, Albom harus datang tiap Selasa ke rumah Morrie. Sang dosen, yang sedang tergolek lemah akibat penyakit yang dideritanya, mengajarkan mata kuliah yang berbeda. Ia mengajarkan mata kuliah kehidupan. Maka tiap Selasa, Morrie selalu mengajarkan berbagai hal soal kehidupan dan memberikan tips-tips agar Albom (juga kita semua) dapat melewatinya dengan baik.

Semakin hari kondisi Morrie semakin memburuk. Albom tahu hidup dosennya tidak akan lama lagi. Maka ia pun menanyakan pertanyaan ini:

“Morrie, apakah kamu takut dengan kematian?”

Morrie menjawab pertanyaan Albom. Saya lupa bagaimana kalimat persisnya. Intinya dia tidak merasa takut. Ia justru menghadapi rasa takut itu. Meresapinya dengan baik. Ketika ia sudah meresapi dan menjadikan rasa takut itu sebagai bagian dari dirinya, maka ketakutan tersebut hilang dengan sendirinya. Ini tak hanya berlaku bagi rasa takut, tapi juga bagi berbagai rasa tak mengenakkan yang kita alami.

We always pretend that we’re OK when we’re in that sucks condition. Sebenarnya tak masalah. Itu hanyalah bentuk dari pertahanan diri kita. Namun ternyata, menghindari kenyataan pahit dengan bersikap (pura-pura) baik-baik saja justru akan menambah beban hidup kita. Kita membohongi diri sendiri. Jika terendap begitu lama, suatu saat semua itu akan meledak seperti bom waktu.

Saya pun mengikuti saran Morrie. Maka tiap kali merasa takut, sakit hati, kecewa, marah, dan lain sebagainya, saya justru menghadapinya. Saya meresapi tiap sakitnya. Saya rasakan tiap ketakutan. Saya jejaki tiap kekecewaan. Orang yang tak mengerti mungkin akan menganggap saya bodoh. Kok ada orang yang mau menenggelamkan diri ke dalam semua rasa tak menyenangkan itu? Tapi saya punya jawabannya. Sama seperti Morrie, ketika semua sudah merasuk ke dalam jiwa (dalam rentan waktu yang tidak sebentar tentunya), perasaan itu hilang tanpa bekas. Esoknya saya merasa baik-baik saja. Kali ini tidak pura-pura tentunya.

Akhirnya Morrie meninggal. Walaupun merasa kehilangan, Albom merasa beruntung karena mendapat pelajaran berarti dari perkuliahannya dengan Morrie. Ada satu kalimat yang selalu saya ingat dari buku tersebut. Albom mengatakan bahwa ketika kehilangan seseorang, kita akan berusaha mengingat semua hal yang mengingatkan kita akan orang itu. Itulah yang sedang saya lakukan. Berusaha membangkitkan semua kenangan yang mengingatkan saya kepada Cakra.

Sedih?

Tentu saja.

Merasa nelangsa?

Ya.

Menyakiti diri sendiri?

Bisa jadi.

Tapi saya justru ingin meresapinya. Merasukinya. Tenggelam bersama kenangan-kenangan tersebut. Sampai suatu hari saya terbangun dan menyadari kalau perasaan-perasaan tidak menyenangkan itu telah hilang dengan sendirinya. Tak ada lagi rasa yang menyesakkan di dalam dada. Semua sudah terhempas dan saya pun bisa tersenyum sembari berkata; yeah, I am OK.

SUPER C.U.T.S BIG GATHERING II

Sabtu (2/10) lalu, SUPER C.U.T.S kembali mengadakan gathering. Tema gathering kali ini adalah wisata alam. Oleh karena itu panitia memilih Hutan Rakyat Juanda Dago (atau lebih sering disebut dengan Tahura) sebagai tempat gathering mereka. Wansky mengatakan, selain untuk bersilaturahmi, acara ini juga bertujuan untuk menambah pengetahuan SC (Super C.U.T.S) terhadap alam. Selain SC Bandung, gathering juga dihadiri SC Jogja, personil C.U.T.S (kecuali Itta), serta pihak manajemen.

Acara dimulai pukul sepuluh. Peserta kemudian dibagi menjadi sepuluh kelompok. Mereka harus berjalan menyusuri Tahura dan berhenti di pos-pos yang telah ditentukan. Ada tiga pos yang harus mereka lalui. Pos pertama adalah pos tali. Di pos ini mereka harus menyambungkan tali sampai berbentuk bulat dan tidak berantakan. Pos kedua adalah pos air. Di sini mereka harus memindahkan air dari ember dengan menggunakan kresek. Pos ketiga adalah pos kejujuran. Setiap peserta harus menjawab pertanyaan yang diberikan panitia dengan jujur. Jika tidak, mereka akan diberi hukuman; masuk ke Gua Jepang sendirian. Selama perjalanan, mereka juga diharuskan mencatat nama pepohonan yang mereka temui.

Sekitar pukul dua acara wisata alam selesai. Mereka kemudian berkumpul di sebuah panggung dekat danau untuk menyantap makan siang. Sambil menyantap makan siang, mereka disuguhi performa dari salah satu SC. Sayang, hujan tiba-tiba turun. Acara dihentikan. Mereka pun langsung mencari tempat untuk berteduh. Tak jauh dari danau, terdapat sebuah saung berukuran sedang. Semua orang langsung ngiuhan di saung itu. Untung saja saung itu cukup kuat untuk menampung sekitar 60 orang. Meskipun bocor dimana-mana, setidaknya mereka tidak kebasahan.

Sambil menunggu hujan reda, mereka saling bercengkrama. Ada yang bermain gitar dan menyanyikan lagu, ada yang ngobrol sambil bercanda, ada juga yang diam dan hanya jadi penonton.

Hampir dua jam mereka terjebak di dalam saung. Menjelang Magrib hujan pun akhirnya reda. Mereka kemudian pulang sambil membawa cerita masing-masing. Meskipun acaranya harus terpotong karena cuaca yang tak mendukung, namun gathering kali ini menimbulkan kesan sendiri di hati para SC. Mereka jadi lebih akrab satu sama lain. Mereka juga semakin kompak. Acaranya mungkin sederhana. Tapi yang terpenting adalah kebersamaan yang tercipta di dalamnya. Sukses untuk panitia, ditunggu gathering selanjutnya. Salam IKKE…!!!

Titanic Memorable quotes

Cal Hockley: [scoffs] God, not those finger paintings again. They certainly were a waste of money.
Rose: The difference between Cal’s taste in art and mine is that I have some. They’re fascinating. It’s like being inside a dream or something. There’s truth but no logic.
Trudy Bolt: Who’s the artist?
Rose: [thinking] Something Picasso?
Cal Hockley: [scoffs] Something Picasso? He won’t amount to a thing.
[sternly]
Cal Hockley: He won’t, trust me!

Fabrizio: I can see the Statue of Liberty already!… Very small, of course.

Molly Brown: You shine up like a new penny.

Rose: I am not a foreman in one of your mills that you can command. I am your fiancée.
Cal Hockley: My fian… my fiancée! Yes, you are, and my wife. My wife in practice if not yet by law, so you will honor me. You will honor me the way a wife is required to honor a husband. Because I will not be made a fool, Rose. Is this in any way unclear?
Rose: No.

Jack: That’s the one good thing about Paris: there’s a lot of girls willing to take their clothes off.

[Rose shows Jack her engagement ring]
Jack: God! Look at that thing! You would’ve gone straight to the bottom.

Jack: Don’t do it.
Rose: Stay back! Don’t come any closer!
Jack: Come on, just give me your hand. I’ll pull you back over.
Rose: No, stay where you are! I mean it! I’ll let go!
Jack: [He approaches slowly, gesturing to his cigarette to show that he is approaching merely to throw it over the side into the ocean] No, you won’t.
Rose: What do you mean, “No, I won’t”? Don’t presume to tell me what I will and will not do, you don’t know me!
Jack: Well, you woulda done it already.
Rose: You’re distracting me! Go away!
Jack: I can’t. I’m involved now. You let go, and I’m, I’m ‘onna have to jump in there after you.
Rose: Don’t be absurd. You’d be killed!
Jack: I’m a good swimmer.
Rose: The fall alone would kill you.
Jack: It would hurt. I’m not saying it wouldn’t. Tell you the truth, I’m a lot more concerned about that water being so cold.
[pause. She looks down at the water. Jack is slowly removing his boots]
Rose: How cold?
Jack: Freezing. Maybe a couple degrees over. You ever, uh, you ever been to Wisconsin?
Rose: What?
Jack: Well, they have some of the coldest winters around. I grew up there, near Chippewa Falls. I remember when I was a kid, me and my father, we went ice fishing out on Lake Wissota. Ice fishing is, you know, where you…
Rose: I know what ice fishing is!
Jack: Sorry. You just seem like, you know, kind of an indoor girl. Anyway, I, uh, I fell through some thin ice; and I’m telling you, water that cold, like right down there…
[He gestures with his chin down toward the Atlantic Ocean]
Jack: … it hits you like a thousand knives stabbing you all over your body. You can’t breathe. You can’t think. At least, not about anything but the pain. Which is why I’m not looking forward to jumping in there after you.
[They exchange glances]
Jack: Like I said, I don’t have a choice. I guess I’m kinda hoping you’ll come back over the railing, an’ get me off the hook here.
Rose: You’re crazy.
Jack: That’s what everybody says but, with all due respect, Miss, I’m not the one hanging off the back of a ship here. Come on. C’mon, give me your hand. You don’t want to do this.
[She reaches her hand back, he reaches his forward, and he helps her back onto the deck]
Jack: Whew! I’m Jack Dawson.
Rose: Rose De Witt Bukater.
Jack: I’m gonna have to get you to write that one down.

Rose: [letting go of Jack’s hand] I’ll never let go, Jack. I promise.
[she kisses his hand and watches him sink, almost falling apart before she finally climbs back into the water to call the lifeboat back]

Jack: Where to, Miss?
Rose: To the stars.

Smith: Clear.
Second Officer Charles Herbert Lightoller: Yes. I don’t think I’ve ever seen such a flat calm.
Smith: Like a mill pond, not a breath of wind.
Second Officer Charles Herbert Lightoller: It will make the bergs harder to see… with no breaking water at the base.
Smith: Hmm. Well, I’m off. Mantain speed and heading, Mr. Lightoller.
Second Officer Charles Herbert Lightoller: Yes, sir.

[first lines]
Brock Lovett: Thirteen meters; you should see it.
Brock Lovett: [seeing the shipwreck come into view for the first time] OK; take her up and over the bow rail.

Jack: [waving to people as the TITANIC sets off] Goodbye!
Fabrizio: You know somebody?
Jack: Of course not! That’s the point! Goodbye, I’ll miss you!
Fabrizio: Goodbye! I’m gonna never forget you!

Rose: I don’t know the steps!
Jack: Neither do I! Just go with it!

Rose: It’s so unfair.
Ruth: Of course it’s unfair. We’re women. Our choices are never easy.

[climbing an on-deck staircase to the stern as the ship is about to sink]
Male Passenger: Yea, though I walk through the valley of the shadow of death…
Jack: You want to walk a little faster through that valley there?

Rose: I don’t see what all of the fuss is about. It doesn’t look any bigger than the Mauritania.
Cal Hockley: You can be blasé about some things, Rose, but not about Titanic. It’s over a hundred feet longer than the Mauritania and far more luxurious.

Jack: Well, yes, ma’am, I do… I mean, I got everything I need right here with me. I got air in my lungs, a few blank sheets of paper. I mean, I love waking up in the morning not knowing what’s gonna happen or, who I’m gonna meet, where I’m gonna wind up. Just the other night I was sleeping under a bridge and now here I am on the grandest ship in the world having champagne with you fine people. I figure life’s a gift and I don’t intend on wasting it. You don’t know what hand you’re gonna get dealt next. You learn to take life as it comes at you… to make each day count.

Molly Brown: [on seeing the upended Titanic] God Almighty.

Jack: Rose, you’re no picnic, all right? You’re a spoiled little brat, even, but under that, you’re the most amazingly, astounding, wonderful girl, woman that I’ve ever known…
Rose: Jack, I…
Jack: No, let me try and get this out. You’re ama- I’m not an idiot, I know how the world works. I’ve got ten bucks in my pocket, I have no-nothing to offer you and I know that. I understand. But I’m too involved now. You jump, I jump remember? I can’t turn away without knowing you’ll be all right… That’s all I want.
Rose: Well, I’m fine… I’ll be fine… really.
Jack: Really? I don’t think so. They’ve got you trapped, Rose. And you’re gonna die if you don’t break free. Maybe not right away because you’re strong but… sooner or later that fire that I love about you, Rose… that fire’s gonna burn out…
Rose: It’s not up to you to save me, Jack.
Jack: You’re right… only you can do that.

Old Rose: Fifteen-hundred people went into the sea, when Titanic sank from under us. There were twenty boats floating nearby… and only one came back. One. Six were saved from the water, myself included. Six… out of fifteen-hundred. Afterward, the seven-hundred people in the boats had nothing to do but wait… wait to die… wait to live… wait for an absolution… that would never come.

Lewis Bodine: We never found anything on Jack… there’s no record of him at all.
Old Rose: No, there wouldn’t be, would there? And I’ve never spoken of him until now… Not to anyone… Not even your grandfather… A woman’s heart is a deep ocean of secrets. But now you know there was a man named Jack Dawson and that he saved me… in every way that a person can be saved. I don’t even have a picture of him. He exists now… only in my memory.

Bert Cartmell: It’s a big boat, huh?
Cora Cartmell: Daddy, it’s a ship!
Bert Cartmell: You’re right.

Rose: The last thing I need is another picture of me looking like a porcelain doll.

Jack: I’m the king of the world!

[Upon boarding the ship with Fabrizio]
Jack: We are the luckiest sons of bitches in the world, you know that?

Ruth: So this is the ship they say is unsinkable.
Cal Hockley: It is unsinkable. God himself could not sink this ship.

Rose: Teach me to ride like a man.
Jack: And chew tobacco like a man.
Rose: And spit like a man!
Jack: What, they didn’t teach you that in finishing school?

Cal Hockley: Where are you going? To him? To be a whore to a gutter rat?
Rose: I’d rather be his whore than your wife.

Jack: This is crazy.
Rose: I know. It doesn’t make any sense. That’s why I trust it.

[as Jack sketches her in the nude]
Rose: I believe you are blushing, Mr. Big Artiste. I can’t imagine Monsieur Monet blushing.
Jack: He does landscapes.

Molly Brown: [to the group who are dining at the same table] Hey, uh, who thought of the name Titanic? Was it you, Bruce?
Ismay: Yes, actually. I wanted to convey sheer size, and size means stability, luxury, and above all, strength.
Rose: Do you know of Dr. Freud, Mr. Ismay? His ideas about the male preoccupation with size might be of particular interest to you.
Ruth: [whispering] What’s gotten into you?
Rose: Excuse me.
[She rises and leaves]
Ruth: I do apologize.
Molly Brown: She’s a pistol, Cal! Hope you can handle her.
Cal Hockley: Well, I may have to start minding what she reads from now on, won’t I, Mrs. Brown?
Ismay: Freud? Who is he? Is he a passenger?

Ruth: Tell us of the accommodations in steerage, Mr. Dawson. I hear they are quite good on this ship.
Jack: The best I’ve seen, ma’am. Hardly any rats.

[being offered a lifebelt]
Benjamin Guggenheim: No, thank you. We are dressed in our best and are prepared to go down as gentlemen. But, we would like a brandy.

Tommy Ryan: Music to drown by. Now I know I’m in first class.

Thomas Andrews: The pumps will buy you time, but minutes only. From this moment on, no matter what we do, Titanic will founder.
Ismay: But this ship can’t sink!
Thomas Andrews: She is made of iron, sir. I assure you, she can. And she *will*. It is a mathematical certainty.

Tommy Ryan: That’s typical. First class dogs come down here to take a shite.
Jack: That’s so we know where we rank in the scheme of things.
Tommy Ryan: Like we could forget.

Ruth: Will the lifeboats be seated according to class? I hope they aren’t too crowded.
Rose: Oh mother, shut up! Don’t you understand? The water is freezing and there aren’t enough boats. Not enough by half. Half the people on this ship are going to die.
Cal Hockley: Not the better half.
Molly Brown: Come on Ruth, first-class seats are right up here.
Cal Hockley: You know, it’s a pity I didn’t keep that drawing. It’ll be worth a lot more by morning.
Rose: You unimaginable bastard!

Cal Hockley: You’re a good liar.
Jack: Almost as good as you.

Old Rose: I saw my whole life as if I had already lived it. An endless parade of parties and cotillions, yachts and polo matches. Always the same narrow people, the same mindless chatter. I felt like I was standing at a great precipice, with no one to pull me back, no one who cared… or even noticed.

Rose: I know what you must be thinking. “Poor little rich girl, what does she know about misery?”
Jack: No, no, that’s not what I was thinking. What I was thinking was, what could’ve happened to this girl to make her feel she had no way out?

Rose: J.J., Madeline, this is Jack Dawson.
Astor: Hello, Jack. Are you of the Boston Dawsons?
Jack: No, the, uh, Chippewa Falls Dawsons, actually.
Astor: Oh yes…

Rose: I love you, Jack.
Jack: Don’t you do that, don’t say your good-byes.
Rose: I’m so cold.
Jack: Listen, Rose. You’re gonna get out of here, you’re gonna go on and make lots of babies, and you’re gonna watch them grow. You’re gonna die an old… an old lady warm in her bed, but not here, not this night. Not like this, do you understand me?
Rose: I can’t feel my body.
Jack: Winning that ticket, Rose, was the best thing that ever happened to me… it brought me to you. And I’m thankful for that, Rose. I’m thankful. You must do me this honor, Rose. Promise me you’ll survive. That you won’t give up, no matter what happens, no matter how hopeless. Promise me now, Rose, and never let go of that promise.
Rose: I promise.
Jack: Never let go.
Rose: I’ll never let go. I’ll never let go, Jack.

Cal Hockley: [stuffs coat with money and diamond] I make my own luck.
Lovejoy: [shows gun] So do I.

Brock Lovett: Dive six, here we are again on the deck of Titanic. Two and a half miles down. Three-thousand, eight hundred and twenty-one meters. The pressure outside is three thousand pounds per square inch. These windows are nine inches thick, and if they go, it’s sayonara in two micro-seconds.

Jack: I don’t know about you, but I intend on writing a strongly worded letter to the White Star Line about all of this.

[Looking at a salvaged hand mirror]
Old Rose: This was mine. How extraordinary! And it looks the same as it did last time I saw it… The reflection’s changed a bit.

Old Rose: It’s been 84 years, and I can still smell the fresh paint. The china had never been used. The sheets had never been slept in. Titanic was called the Ship of Dreams, and it was. It really was.

Tommy Ryan: Ah, forget it, boyo. You’re as like to have angels fly out your arse as get next to the likes of her.

[last lines]
Brock Lovett: Three years, I’ve thought of nothing except Titanic; but I never got it… I never let it in.

Lewis Bodine: Incredible. There’s Smith and he’s standing there and he’s got the iceberg warning in his fucking hand, excuse me, his hand, and he’s ordering MORE SPEED.

Brock Lovett: 26 years of experience working against him. He figures anything big enough to sink the ship they’re gonna see in time to turn. The ship’s too big with too small a rudder. It doesn’t corner worth a damn. Everything he knows is wrong.

Thomas Andrews: I’m sorry I didn’t build you a stronger ship, young Rose.

Rose: Mr. Andrews… I saw the iceberg and I see it in your eyes… please, tell me the truth.
Thomas Andrews: The ship… will sink.
Rose: You’re certain?
Thomas Andrews: Yes, In an hour or so, all of this will be at the bottom of the Atlantic.
Cal Hockley: What?
Thomas Andrews: Please, tell only who you must. I don’t want to be responsible for a panic. And get to a boat quickly, DON’T WAIT. You… remember what I told you, about the boats?
Rose: Yes… I understand.

Rose: Mr. Andrews, forgive me. I did this sum in my head and with the number of lifeboats times the capacity you mentioned, forgive me, but it seems that there aren’t enough for everyone aboard.
Thomas Andrews: ‘Bout half, actually. Rose, you miss nothing, do you?

[about his silverware during dinner]
Jack: Are these all for me?
Molly Brown: Just start from the outside and work your way in.

Rose: Hello Jack. I changed my mind. They said you might be out here.
Jack: Shhh. Gimme your hand. Now close your eyes, go on. Now step up. Now hold on to the railing. Keep your eyes closed, don’t peek.
Rose: I’m not.
Jack: Step up on the railing. Hold on, hold on. Keep your eyes closed. Do you trust me?
Rose: I trust you.
[Jack opens Rose’s arms]
Jack: All right. Open your eyes.
Rose: [gasp] I’m flying, Jack!
[Jack starts singing]
Jack: Come, Josephine, in my flying machine, going up, she goes up, up she goes.
[they kiss]

Molly Brown: Why do they always have to announce dinner like a damned cavalry charge?

Thomas Andrews: Sleep soundly young Rose for I have built you a good ship, strong and true, she has all the lifeboats you need.

Molly Brown: There’s plenty of room for more.
Robert Hitchins: Yes, and there will be one less on this boat if you don’t shut that hole in your face

Lookout Frederick Fleet: [spots an iceberg ahead of the ship and calls into the wheelhouse] Pick up you bastards!
6th Officer Moody: [comes into the wheelhouse with a cup of tea in hand and answers the phone]
Lookout Frederick Fleet: Is there anyone there?
6th Officer Moody: Yes, what do you see?
Lookout Frederick Fleet: Iceberg, right ahead!
6th Officer Moody: Thank you.
[hangs up phone]
6th Officer Moody: [rushes out to the deck to notify 1st Officer William Murdoch] Iceberg right ahead!
6th Officer Moody, 1st Officer William Murdoch: Hard a’starboard!

[after the collision]
Jack: This is bad!

[Jack is kissing Rose’s hand]
Jack: I saw that in a nickelodeon once and I’ve always wanted to do it.

Fifth Officer Lowe: Is there anyone alive out there? Can anyone hear me?

[Rose is about to cut Jack free with an axe]
Jack: Wait, wait, wait! Take a couple practice swings over there.
[Rose chops a hole in a cupboard door]
Jack: Good! Now try and hit the same mark again.
[Rose chops again, missing the first hole by about 3 feet]
Jack: Okay, that’s enough practice.

Rose: You have a gift Jack, you do. You see people.
Jack: I see you.
Rose: And?
Jack: You wouldn’t have jumped.

[after Jack “rescues” Rose from her suicide attempt, he holds Lovejoy back to scab some cigarettes]
Lovejoy: You’ll want to tie those.
[He points at Jack’s boots]
Lovejoy: It’s interesting. The young lady slipped so suddenly and you still had time to remove your jacket and your shoes.

Ruth: Tea, Trudy!
Trudy Bolt: Yes, ma’am.
Ruth: You’re not to see that boy again. Do you understand me? Rose, I forbid it.
Rose: Oh stop it, mother. You’ll give yourself a nose bleed.

Jack: Where to, Miss?
Rose: To stars.

Jack: Do you love him?
Rose: Pardon me?
Jack: Do you love him?
Rose: Well, you’re being very rude. You shouldn’t be asking me this.
Jack: Well, it’s a simple question. Do you love the guy or not?
Rose: This is not a suitable conversation.
Jack: Why can’t you just answer the question?
Rose: This is absurd. I don’t know you and you don’t know me and we are not having this conversation at all. You are rude and uncouth, and presumptuous, and I am leaving now.
[starts shaking Jack’s hand]
Rose: Jack… Mister Dawson, it’s been a pleasure. I’ve sought you out to thank you, and now I have thanked you.
Jack: And even insulted me.
Rose: Well, you deserved it.
Jack: Right.
Rose: Right.
Jack: [Rose is still shaking his hand] I thought you were leaving.
Rose: [turns to leave] I am. You are so annoying.
Jack: Ha, ha.
Rose: [turns back to Jack] Wait, I don’t have to leave, this is my part of the ship. You leave.
Jack: Oh ho, ho, well well well, now who’s being rude?

[after Jack saves Rose]
Col. Archibald Gracie: Well, the boy’s a hero! Good for you, son. Well done.

[after the first class dinner, Jack gives Rose a note]
Jack: So, you wanna go to a real party?

[Rose throws a dime to Jack]
Rose: As a paying customer, I expect to get what I want.

Smith: Take her to sea, Mr. Murdoch. Let’s stretch her legs.

Bobby Buell: Brock! Brock! There’s a satellite call for you.
Brock Lovett: Bobby, we’re launching now. See these submersibles going into the water?
[motions to the subs]
Bobby Buell: Trust me, buddy, you wanna take this call.
[nods seriously as Bobby walks towards the satelitte phone]
Brock Lovett: This better be good.
[follows Bobby to the satellite phone]
Bobby Buell: Now, ya gotta speak up, she’s kinda old.
Brock Lovett: Great.
[picks up phone]
Brock Lovett: This is Brock Lovett. How can I help you, Mrs…?
[turns to Bobby]
Bobby Buell: Calvert. Rose Calvert.
Brock Lovett: …Mrs. Calvert?
Old Rose: I was just wondering if you had found the “Heart of the Ocean” yet, Mr. Lovett.
Brock Lovett: [turns to Bobby, completely shocked]
Bobby Buell: Told ya ya wanted to take the call.
Brock Lovett: All right, you have my attention, Rose. Can you tell us who the woman in the picture is?
Old Rose: Oh yes, the woman in the picture is me.

[Old Rose is telling Lovett and his crew about the Titanic]
Old Rose: It was the ship of dreams to everyone else. To me it was a slave ship, taking me back to America in chains. Outwardly, I was everything a well brought up girl should be. Inside, I was screaming.

[Jack and Fabrizio are playing poker in a bar in front of the port]
Jack: All right, the moment of truth. Somebody’s life is about to change. Fabrizio? Niente.
Fabrizio: Niente.
Jack: Olaf? Nothing. Sven? Oh… two pairs. I’m sorry, Fabrizio.
Fabrizio: Que sorry, mavafanculo! You bet all our money!
Jack: I’m sorry, you’re not gonna see your mom again for a long time, ‘cause we’re going to America, full house boys! Wohoo!

Jack: Wait! We’re passengers! We’re passengers!
[flushed and panting, Jack waves the tickets as he and Fabrizio run up the ramp to the 3rd class gangway entrance]
6th Officer Moody: [looks at the tickets as Jack and Fabrizio reach the end of the ramp] Have you been through the inspection queue?
Jack: [lying] Of course! Anyway, we don’t have lice, we’re Americans.
[motions the tickets back and forth between himself and Fabrizio]
Jack: Both of us.
6th Officer Moody: [nods] Right. Come aboard.

Countess of Rothes: [coming out of her stateroom with a confused look on her face; sees a steward and stops him] Excuse me, why have the engines stopped? I felt a shudder.
Steward #1: [calmly] I shouldn’t worry ma’am. We’ve likely thrown a propeller blade, that’s the shudder you felt. May I bring you anything?
Countess of Rothes: [is distracted for a moment as Thomas Andrews passes by in a nervous hurry with an armload of the ship’s plans under one arm; redirecting her attention back to the steward as he disappears] N-no, thank you.

[Jack is teaching Rose how to spit]
Rose: Mother! May I introduce Jack Dawson?
Ruth: Charmed, I’m sure.
[Old Rose, voice in off]
Old Rose: The others were gracious and curious about the man who had saved my life. But my mother looked at him like an insect. A dangerous insect, which must be squashed quickly.

[During the first class dinner]
Waiter: How do you take your caviar, sir?
Jack: No caviar for me, thanks. Never did like it much.

[Jack is dancing with Cora]
Jack: I’m gonna dance with her now, all right?
[Looking at Rose]
Jack: Come on.
Rose: What?
Jack: Come on, come with me.
Rose: Jack! Jack, wait. I can’t do this.
Jack: We’re gonna have to get a little bit closer. Like this.
[Jack looks at Cora]
Jack: You’re still my best girl, Cora.

[Rose is drinking black beer]
Rose: What? Do you think a first class girl can’t drink?

[Rose shows Jack the diamond]
Rose: Jack, I want you to draw me like one of your French girls. Wearing this…
Jack: All right.
Rose: Wearing “only” this.

Old Rose: [about Jack drawing her naked] My heart was pounding the whole time. It was the most erotic moment of my life. Up until then, at least.
Lewis Bodine: So what happened next?
Old Rose: You mean, did we “do it”? Sorry to disappoint you Mr. Bodine, but Jack was very professional.

[Jack and Rose are inside the car]
Jack: Are you nervous?
Rose: No. Put your hands on me, Jack.

Irish Boy: What are we doing, mommy?
Irish Mother: We’re just waiting, dear. When they’re finished putting first class people in the boat, they’ll be starting with us. And we ought to be ready, oughtn’t we?
[Irish Girl nods]

[Jack and Rose break a door while the ship is sinking]
Employee: Hey! What do you think you’re doing? You’ll have to pay for that, you know? That’s White Star Line property.
Jack, Rose: Shut up!

[Rose jumps from the saving boat and goes to where Jack is]
Jack: Rose! You’re so stupid. Why did you do that, huh? You’re so stupid, Rose. Why did you do that? Why?
Rose: You jump, I jump, right?
Jack: Right.
Rose: Oh God! I couldn’t go. I couldn’t go, Jack.
Jack: It’s all right. We’ll think of something.
Rose: At least I’m with you.
Jack: We’ll think of something.

[the Titanic is about to sink]
Rose: Jack! This is where we first met.

[Talking about Caledon Hockley]
Old Rose: That was the last time I ever saw him. He married, of course. And inherited his millions. But the crash of ‘29 hit his interest hard, and he put a pistol in his mouth that year. Or so I read.

[as the Carpathia is arriving in New York]
Carpathia Steward: Can I take your name, please love?
Rose: Dawson, Rose Dawson.

Musician: What’s the use? Nobody’s listening to us anyway.
Wallace Hartley: Well, they don’t listen to us at dinner either.

Lewis Bodine: She’s a goddamn liar! Some nutcase seeking money or publicity, God only knows what. Like that Russian babe, Anesthesia.
[Mistaken name, intentionally kept in the scene]
Lewis Bodine: [walking towards the helicopter with Bobby following behind]
Lewis Bodine: Rose DeWitt Bukater died on the Titanic when she was seventeen, right?
Brock Lovett: That’s right.
Lewis Bodine: If she had lived, she’d be over a hundred by now.
Brock Lovett: One-hundred and one next month.
Lewis Bodine: Okay, so she’s a very OLD goddamn liar! Look, I’ve already done the background on this woman all the way back to the twenties, when she was working as an actress. An actress! There’s your first clue, Sherlock! Her name was Rose Dawson back then. Then she marries this guy named Calvert, they move to Cedar Rapids and she punches out a couple of kids. Now Calvert’s dead, and from what I hear Cedar Rapids is dead!
Brock Lovett: And everyone who knows about the diamond is supposed to be dead, or on this boat, but she knows!

Second Officer Charles Herbert Lightoller: Get Back I Say, or I’ll shoot you all like dogs! Keep order here! Keep order I say. Mr. Lowe, man this boat.

Jack: [stepping into the water after Rose rescues him] Oh shit this is cold! Shit, shit, shit.

Cal Hockley: [laughing] I put the diamond in the coat.
[pauses]
Cal Hockley: I put the coat on her.

4th Officer Joseph Boxhall: [as Titanic plunges down into the icy waters of the ocean, boat 2 rows away] Bloody pull faster and pull!

Cal Hockley: A real man makes his own luck.

[having encountered a mother and baby, frozen to death in the water]
Fifth Officer Lowe: We waited too long.

[addressing stewards who have locked the steerage passengers below decks as the ship is sinking]
Tommy Ryan: You can’t keep us locked up in here like animals - the ship’s bloody sinking!

Lovejoy: What could possibly be funny?

Rose: So you think you’re big tough men?
[Rose takes Tommy’s cigarette and takes a pull]
Rose: Then let’s see you do this. Hold this for me Jack.
[lifts up her dress train]
Rose: Hold it up!
[Rose then slowly rises on her toes to complete a toe-stand]
3rd Class Irish Woman: Jesus, Mary, and Joseph.

Rose: I’m through being polite, goddammit! Now, take me down.

Rose: [whispering to Jack] Next it will be brandys in the smoking room.
Col. Archibald Gracie: [to everybody] Join me in a brandy, gentlemen?
Rose: [whispering to Jack] They are retreating into a cloud of smoke where they will congratulate each other on being masters of the universe.

Rose: The sky. It’s so vast and endless. My crowd, they think they’re giants. They’re like dust in the eyes of God.
Jack: You’re not one of them.

Fabrizio: [deleted scene] Helga, you come with me now. I am very lucky is my destiny to go to America please
[kiss]
Fabrizio: Come.
Helga Dahl: [pulls back] I’m sorry
Fabrizio: I will never forget you.

Molly Brown: Do you have the slightest inclination of what you’re getting into?
Jack: Not really.
Molly Brown: Well, you’re about to enter the snake pit… what are you going to wear?
[nods at the clothes Jack has on. He looks down and shrugs]
Molly Brown: I thought so. Come on.

Tommy Ryan: If this is the direction the rats are going that’s fine with me!

Jack: [deleted scences] I never cared too much for all that Dadaism and Cubism. Just had no heart.
Rose: I like some of it.
Jack: Really? For me Paris was more about living on the streets and trying to put it on paper.
Rose: You know, my dream has always been to run away and become an artist, Living in a garrett poor but free!
Jack: You wouldn’t last 2 days. Theres no hot water and hardly any caviar.

Molly Brown: Nothing to it is there? Remember, they love money so pretend like you own a gold mine and you’re in the club.

Rose: [deleted scenes] Look! A shooting star.
Jack: Its a long one. My pops used to tell me that every time you saw one it was a soul going to heaven.
Rose: I like that. Aren’t you supposed to wish on it?
Jack: [intently] why? what would you wish for?
Rose: [pause] Something i can’t have.

Molly Brown: You gonna cut her meat for her too Cal?

Rose: You used this woman several times.
Jack: She has beautiful hands, see?
Rose: I think you must have had a love affair with her.
Jack: No, just with her hands. See.
[turns page]
Jack: She was a one-legged prostitute. Ah, she had a good sense of humour though.

Jack: There uh, isn’t any arrangement is there?
Cal Hockley: No, there is. Not that you’ll benefit much from it. I always win Jack, one way or another.

Jack: Rose! How did you find out I didn’t do it?
Rose: I didn’t. I just realized I already knew.

Cal Hockley: Any room for a gentleman? Gentlemen?

Rose: I will do this with or without your help, sir… but without, it will take longer.

Thomas Andrews: Mr. Lightoller, why are the boats being launched half full?
Second Officer Charles Herbert Lightoller: Not now, Mr. Andrews.
Thomas Andrews: Look, 20 or so in a boat built for 65? And I saw one boat with only 12, 12!
Second Officer Charles Herbert Lightoller: Well, we weren’t sure of the weight, Mr. Andrews. These boats may buckle.
Thomas Andrews: Rubbish! They were tested in Belfast with the weight of 70 men! Now, fill these boats, Mr. Lightoller, for God Sake’s Man!
Second Officer Charles Herbert Lightoller: Please, I need more women and children, please!

Rose: [Rose is pointing out certain people to Jack before dinner] That’s John Jacob Astor, the richest man on the ship. His little wifey there, Madelyn, is my age and in a delicate condition. See how she’s trying to hide it? Quite the scandal.

Cal Hockley: Rose is displeased… what to do?

[Rose is telling the story of how she and Jack met]
Lewis Bodine: Wait a second. You were going to kill youself by jumping off of the Titanic?
[laughing hysterically]
Lewis Bodine: All you had to do was wait two days!

Smith: [rushing to the helm after the iceberg strike] What happened, Mr. Murdoch?
1st Officer William Murdoch: Iceberg, sir. I put a hard a’starboard on the engines, full astern, but it was too close. I tried to port ‘round it, but she hit.
Smith: Close the watertight doors.
1st Officer William Murdoch: They’re closed, sir.
Smith: [walking on deck] *All stop!*
[to Murdoch]
Smith: Find the carpenter. Get him to sound the ship.
1st Officer William Murdoch: Yes, sir!

Ismay: [Andrews enters room with crew behind him; he lays out architectural drawings on table, with Ismay behind him] Most unfortunate, captain!
Thomas Andrews: [perspiring and trembling] Water… fourteen feet above the keel in ten minutes. In the forepeak, in all three holds and in the boiler room six.
Ismay: When can we get underway, damnit!
Thomas Andrews: That’s five compartments! She can stay afloat with the first four compartments breached, but not five!
[tersely to Smith]
Thomas Andrews: Not five. As she goes down by the head, the water will spill over the tops of the bulkheads at E deck from one to the next. Back and back. There’s no stopping it.
Smith: The pumps… if we opened the doors…
Thomas Andrews: [interrupting] The pumps buy you time, but minutes only. From this moment, no matter what we do, Titanic will founder.
Ismay: [incredulously] But this ship can’t sink!
Thomas Andrews: She’s made of iron, sir! I assure you, she can… and she will. It is a mathematical certainty.
Smith: How much time?
Thomas Andrews: An hour… two at most.
Smith: And how many aboard, Mr. Murdoch?
1st Officer William Murdoch: 2,200 souls on board, sir.
Smith: [turning to Ismay] Well, I believe you may get your headlines, Mr. Ismay.

Ismay: So you’ve not yet lit the last four boilers?
Smith: No, I don’t see the need. We are making excellent time.
Ismay: The press knows the size of Titanic. Now I want them to marvel at her speed. We must give them something new to print! This maiden voyage of Titanic must make headlines!
Smith: Mr. Ismay, I would prefer not to push the engines until they’ve been properly run in.
Ismay: Of course, I’m just a passenger. I leave it to your good offices to decide what’s best. But what a glorious end to your final crossing if we were to get to New York on Tuesday night and surprise them all! Make the morning papers. Retire with a bang, eh E.J.?
Ismay: [Smith nods reluctantly] Good man.

Lewis Bodine: [narrating an animated sequence of the Titanic’s sinking on a TV monitor] Okay here we go. She hits the berg on the starboard side, right? She kind of bumps along punching holes like morse code, dit dit dit, along the side, below the water line. Then the forward compartments start to flood. Now as the water level rises it spills over the watertight bulkheads, which unfortunately don’t go any higher then E deck. So now as the bow goes down, the stern rises up. Slow at first, then faster and faster until finally she’s got her whole ass sticking up in the air - And that’s a big ass, we’re talking 20-30,000 tons. Okay? And the hull’s not designed to deal with that pressure, so what happens? “KRRRRRRKKK!” She splits. Right down to the keel. And the stern falls back level. Then as the bow sinks it pulls the stern vertical and then finally detaches. Now the stern section just kind of bobs there like a cork for a couple of minutes, floods and finally goes under about 2:20am two hours and forty minutes after the collision. The bow section planes away, landing about half a mile away going about 20-30 knots when it hits the ocean floor. “BOOM, PLCCCCCGGG!”… Pretty cool huh?
Old Rose: Thank you for that fine forensic analysis, Mr. Bodine. Of course, the experience of it was… somewhat different.

Irish Mommy: And so they lived, happily together for three-hundred years. In the land of Tír na nÓg, of eternal youth and beauty.

Jack: Music to drown by? Now I know I’m in first class!

Cal Hockley: Where are you going? To him? To be a whore to a gutter rat?
Rose: I’d rather be his whore than your wife!

Ruth: The purpose of university is to find a suitable husband. Rose has already done that.

Wallace Hartley: [the band has finished playing, and Hartley tells the band that they may go for the boats. He remains behind and starts to play “Nearer My God To Thee”. One by one the band comes back and plays as the scenes change. when the tune finishes, the water is about to swallow them] Gentlemen. It has been a privilege playing with you tonight.

Rose: [to Jack] When the ship docks, I’m getting off with you.
Jack: This is crazy.
Rose: I know. It doesn’t make any sense. That’s why I trusted.
[Jack and Rose start making out]

One of Conversation in 500 Days of Summer

* McKenzie: [drunk] So do you have a boyfriend?
* Summer: No.
* McKenzie: Why not?
* Summer: Because I don’t want one.
* McKenzie: Come on; I don’t believe that.
* Summer: You don’t believe that a woman could enjoy being free and independent?
* McKenzie: Are you a lesbian?
* Summer: [laughing] No I’m not a lesbian. I just, don’t feel comfortable being anyone’s girlfriend. I don’t actually feel comfortable being anyone’s anything.
* McKenzie: I don’t know what you’re talking about.
* Summer: Really?
* McKenzie: Nope.
* Summer: Ok, let me break it down for you–
* McKenzie: Break it down!
* Summer: Ok. I, like being on my own. I think relationships are messy and people’s feelings get hurt. Who needs it? We’re young, we live in one of the most beautiful cities in the world; might as well have fun while we can and, save the serious stuff for later.
* McKenzie: You’re a dude. [to Tom] She’s a dude!
* Tom: Ok but wait–wait. What happens, if you fall in love?
* Summer: [scoffs]
* Tom: What?
* Summer: You don’t believe that, do you?
* Tom: It’s love, it’s not Santa Claus.

Cakra dan Lysa:Percakapan Antara Si Licong dan Si Jinggo

Sesampainya di rumah, hal pertama yang saya lakukan adalah; TIDUR. Entah kenapa, saya selalu memilih tidur setiap kali merasa sedih, marah, kecewa, patah hati, dan tertekan. Tidur beberapa jam, kemudian, VOILA! Semua perasaan-perasaan itu menghilang dengan sendirinya.

“Jangan-jangan kamu mengidap narkolepsi,” ujar seorang sahabat suatu hari.

“Narkolepsi? Penyakit apaan tuh? ” Tanya saya sambil meringis ketakutan.

“Narkolepsi itu semacam sleeping disorder. Pengidapnya selalu tertidur ketika ia merasakan emosi yang berlebihan. Misalnya saja ketika ia merasa terlalu sedih, kecewa, bahkan terlalu bahagia. Kamu juga sering gitu kan? ”

Mendengar penjelasan sahabat tentang ciri-ciri pengidap narkolepsi, saya jadi semakin penasaran. Jujur saja, ciri-ciri penderita narkolepsi mirip dengan yang saya alami.

“Saya baru tahu ada penyakit seperti itu di dunia ini. Terus penyebabnya kenapa? Apa saya harus diopname, diterapi, dan disuntik selama bertahun-tahun biar sembuh dari penyakit semacam itu? Apa bisa berakibat pada kematian?”

“Hahahahaha. Mana mungkin si Lysa mengidap narkolepsi. Dia sih emang kebluk aja! Jangankan lagi sedih atau marah, lagi nggak ada kerjaan aja dia mah tidur!!! Kamu tuh mengidap ‘pelor-ngilerus’:nempel-molor-ngiler-terus!!! Ahahahahaha…ada kebakaran atau gempa juga dia sih nggak bakal kebangun,” timpal sahabat saya yang satu lagi.

“Hahahahaha. Saya nggak ikut-ikutan ya. Lagian tenang aja, Sa. Kebanyakan penderita narkolepsi itu pria, bukan wanita. Jadi kemungkinan kamu mengidap penyakit ini relatif kecil,” ujar sahabat saya menenangkan.

“Huh, dasar! Kalian nakutin saya aja. Asal kalian tahu, tidur itu banyak manfaatnya. Kalian belum pernah denger ya ada penelitian yang bilang bahwa tidur akan mengurangi beban dan tekanan dalam hidup? Saya sih cuma mengikuti saran para scientist aja,”

“Ya tapi kalau over sleeping kaya kamu juga nggak baik Lysa…Mungkin kamu dulu reinkarnasi dari tapir yang hobinya tidur….ahahahaha,”

“Dasar kalian menyebalkaaaaaaaaaaaaann…..!!!!”

Hoahm…zzzzzzzzzz

***

Setelah menghabisi Raja Bertopeng Muram beserta seluruh prajuritnya, Pangeran Nicholas langsung menaiki seribu tangga menuju Menara Pilu, tempat Putri Alveriza disekap. Begitu sampai di dalam menara, ia meliihat sang putri terkulai lemas di atas sebuah ranjang. Wajah sang putri pucat pasi. Matanya kosong, mencerminkan kesedihan yang begitu dalam. Tubuhnya tinggal tulang, kulit indahnya berubah jadi keriput, rambutnya rontok. Ternyata benar apa yang dikatakan Nenek Tua itu, ujar pangeran dalam hati. Menara ini menyedot semua kebahagiaan yang dimiliki Putri Alveriza.

“Hanya cinta sejati yang bisa mengembalikan Putri Alveriza ke wujud semula. Untuk itulah kau harus menciumnya sebelum matahari tenggelam. Jika tidak, bukan hanya sang putri yang kehilangan kebahagiaan. Kau juga akan terseret ke dalam kekuatan magis menara itu,” begitu pesan Nenek Tua.

Tanpa berlama-lama lagi, Pangeran Nicholas langsung mendekati Putri Alveriza. Ia sudah siap mencium bibir sang putri ketika sebuah kekuatan mengguncang-guncangkan tubuhnya dan tubuh sang putri. Sayup-sayup terdengar sebuah suara yang nyaring dan cempreng.

“Liconnnggg… banguuun!!! Pamali tau tidur pas Magrib,” seru sebuah suara. Saya membuka kedua mata dan mendapati seorang perempuan tengah mengguncang-guncangkan tubuh saya.

“Teh Jinggoooo…!!! Ih, sumpah ya, bangunin di saat yang nggak tepat! Saya baru aja mau kissing sama Nicholas Saputra di dalam mimpi…Eh, malah dibangunin,” timpal saya sambil menarik selimut ke ujung kepala. Berniat melanjutkan mimpi yang sempat terganggu oleh lengkingan suara sepupu saya itu.

“Heh, Licong, banguuun! Tidur wae ih,” serunya sambil menyibakkan selimut dari tubuh saya, menarik kedua tangan saya, kemudian mendorong saya dengan paksa ke kamar mandi.

“Mandi sana, terus ikut Teteh!” serunya galak seperti komandan memerintahkan prajuritnya.

Mendengar perintah sang komandan, si prajurit langsung menurut.

Lima belas menit kemudian.

“Tumben Teh Jinggo ke sini,” tanya saya heran sambil mengeringkan rambut dengan hair dryer.

“Licong, dari dulu kan Teteh selalu bilang kalau punya feeling yang kuat. Apalagi kalau ada hubungannya sama kamu. Masih nggak percaya juga? ”

“Yayaya…”

Ia kemudian mendekat dan mengamati wajah saya dengan seksama.

“ Ada apa Teh?” tanya saya sambil mengernyitkan dahi.

“Lain kali, kalau habis nangis, jangan langsung tidur! Lihat, mata kamu jadi sembab gitu…”

“Ya, habis gimana lagi. Tidur udah jadi obat mujarab saya kalau lagi emosi, ”

“Tapi kita kan mau jalan-jalan. Malu dong jalan-jalan sambil petet gitu matanya,”

“Tapi saya emang nggak pernah berniat jalan-jalan sehabis nangis dan tertidur,”

“Dasar calon pengacara! Setiap statement orang dibantaaaah terus. Meuni embung eleh. Btw, punya eyeliner?”

“Ada. Tapi udah dimasukkin ke kardus. Kardusnya ditaro di gudang. Sok aja ambil kalau mau,”

“oh, hmm, ya udah. Teteh bawa kok,” katanya seraya mengambil make up kit di dalam tasnya. Kemudian ia menyuruh saya memejamkan mata dan mulai membubuhkan eyeliner di kelopak mata saya.

“Beres! Yuk kita berangkat,”

***

Ohya, saya belum memperkenalkan sepupu saya yang satu itu. Namanya Jingga Maharani. Usia 23 tahun. Ibunya, Uwa Neni, adalah kakak ibu saya. Dia selalu menjadi primadona di setiap acara keluarga. Betapa tidak, dia dikaruniai fisik yang terbilang sempurna. Mata belo, alis tebal, hidung mancung, kulit putih, kaki jenjang, dan memiliki ukuran dada 34B.. Sekilas, dia mirip Aura Kasih (dan entah kenapa dia selalu protes jika disamakan dengan Aura Kasih). Hobinya? Nyalon dan shopping.

Dengan fisik yang sempurna, otomatis banyak lelaki yang mengejar Jingga. Dari mulai penjual bakso di depan rumah sampai anak pejabat, semua mengagumi Jingga. Dari dulu Jingga terkenal dengan sebutan “penakluk pria”. Pacarnya banyak, selingkuhannya tidak terhitung, TTM-an dimana-mana! Sampai akhirnya, ia memutuskan untuk menikah dengan seorang pria. Usianya baru menginjak 20 tahun ketika itu. Namun sayang, pernikahannya tak berhasil. Tak sampai genap setahun, Jingga sudah resmi menjanda.

Hubungan saya dan Jingga sangat dekat. Jingga bukan sekedar sepupu, tapi sudah seperti kakak, sahabat, musuh, dan terkadang seorang ibu bagi saya. Saya anak pertama dari tiga bersaudara dan satu-satunya perempuan di keluarga. Sedang dia anak tunggal. Saya ingin punya kakak, dia ingin punya adik. Mungkin itulah yang menyebabkan kami bisa sangat dekat.

Kedekatan kami pun bisa terlihat dari ‘panggilan sayang’ yang kami berikan pada masing-masing. Jingga memanggil saya ‘Licong’->Lysa-Conge (Conge berarti tuli dalam bahasa Sunda). Saya memanggil dia ‘Jinggo’-> Jingga-Goyobod (Goyobod adalah salah satu jenis minuman khas Bandung).

Julukan tersebut tentu tak datang begitu saja. Jingga yang lebih dulu menjuluki saya ‘Licong’. Ketika kecil, saya jarang mudeng ketika dipanggil oleh Jingga . Bukan karena saya benar-benar tuli. Tapi saya punya kebiasaan tidak mempedulikan keadaan sekitar jika sedang fokus pada satu hal. Sialnya, Jingga sering memanggil ketika saya sedang fokus menari atau main lompat tinggi. Otomatis saya tidak mempedulikan suaranya. Dari situlah ia memanggil saya ‘Licong’-Lysa conge.

Tak mau kalah, saya pun mencari kejelekan Jingga supaya dia juga diberi ‘panggilan sayang’. Tapi sialnya, kelakuan dia selalu manis dan beretika.

Suatu hari, saya dan Jingga berlibur ke rumah nenek di Tasikmalaya. Ketika tengah asyik bermain di pekarangan, tiba-tiba ada seorang penjual Es Goyobod berhenti di depan rumah. Penasaran dengan minuman yang baru pertama kali didengarnya itu, Jingga langsung minta dibelikan orang tuanya. Karena Jingga sedang terserang flu, Uwa Neni dan Uwa Jamal tak mengabulkan permintaanya. Ia marah dan menangis sejadi-jadinya. Kasihan melihat anak satu-satunya menangis, Uwa Neni dan Uwa Jamal pun luluh dan langsung mencari penjual Es Goyobod tersebut ke seantero kampung.

Menjelang sore hari, orang tua Jingga kembali ke rumah sambil membawa sebungkus Es Goyobod. Jingga tersenyum puas dan langsung menghabiskan minuman tersebut. Anehnya, keesokan harinya, penyakit yang sedang diderita Jingga langsung menghilang begitu saja. Dari situlah ia menganggap Es Goyobod adalah pahlawan hidupnya. Dari peristiwa itu juga saya memanggilnya Teh Jinggo. Sampai sekarang, jika ditanya apa minuman favoritnya, Jingga pasti selalu menjawab : Es Goyobod! Dalam hati, saya Cuma geleng-geleng kepala. Ternyata tuhan memang adil ya. Perempuan cantik, modern, dan fashionable begini ternyata tetap manusia biasa yang masih suka jajanan kampung.

“Cong, rambut kamu jangan keseringan dikucir atau dicepol. Bagusan digerai gini…” komentar Jingga sambil memperhatikan rambut sepinggang saya yang (tumben-tumbennya) digerai.

“Habis kalau digerai panas Teh…Udah tahu kemana-mana pake angkot… ”

“Ih, kamu tuh ya, dikasih tahu. Gimana mau dapet pacar kalau kamu kucel terus?”

“Saya nggak mau punya pacar yang cuma ngeliat saya dari kucel atau nggaknya. Kalau emang cinta, ya terima apa adanya dong…kalau cuma liat dari fisik, berarti pacar saya nggak tulus dong cinta sama saya?”

“Sayangnya, kebanyakan lelaki melihat perempuan dari fisiknya dulu sebelum ke hal lainnya. Lagian apa salahnya merawat diri dan tampil cantik? Toh juga buat kebaikan kamu sendiri…pacar kamu juga jadi nggak malu bawa kamu kemana-mana. Iya kan?”

“Saya sih mau didandanin kayak gimana juga nggak akan cantik-cantik Teh…terima aja nasib jadi orang jelek,”

“Ahahahaha. Tuhkan, kamu selalu gitu deh. Siapa bilang kamu jelek? You have the greatest smile, darling! Ketika tersenyum, kamu seperti memberikan semua kebahagiaan pada orang yang kamu ajak senyum. Senyuman kamu itu tulus dan cantik sekali. Ketika kamu tersenyum, aura kamu langsung keluar. Orang yang melihat kamu tersenyum pasti merasa nyaman dan tenang. Saya aja suka iri sama senyum kamu. Rambut kamu bagus. Kulit kamu juga pasti bikin iri orang-orang bule, coklat seksi gimanaaa…gitu. Jadi jangan pernah ngomong gitu lagi di depan saya!!! Eh, btw, dapet parkir nggak nih kita? Gila, mentang-mentang long weekend, PVJ penuh terus ya Cong!!! ”

***

Saya dan Jingga duduk berhadapan di sebuah kafe di PVJ. Lantunan musik Jazz , cahaya temaram, dan rintik hujan di luar sana membuat suasana kafe menjadi romantis. Sayang, romantisme ini harus saya lalui bersama Jingga. Coba saja saya bisa melaluinya bersama…ah, sudahlah!

“Sayang ya disini makanan dan minumannya khas Eropa semua. Coba aja ada Es Goyobod, pasti langsung saya pesen…hehehehe,” kata Jingga sambil membulak-balik daftar menu.

Beberapa menit kemudian, Jingga memanggil pelayan dan memesan makanan untuk kami berdua.

“Oke, then. Tell me, darl. What’s goin on with you? Why did you cry?” tanya JIngga sambil mengeluarkan sebungkus Dunhill dari dalam tasnya. Ia kemudian menyalakan lighter dan mulai menghisap rokoknya perlahan. Meskipun dekat, JIngga tak pernah sekalipun menawari saya rokok. Sebaliknya, saya pun tak pernah memaksa dia untuk berhenti merokok. Kami memang dekat, tapi kami tetap memberikan ruang untuk diri masing-masing. Jingga sudah dewasa. Dia sudah tahu konsekuensi ketika memilih sesuatu. Begitu pun dengan saya. Dia pasti tahu saya punya alasan tertentu ketika memilih sesuatu.

“Eh, kenapa? Tadi Teteh nanya apa?”

“Huh, anggeur!!! Dasar Congeee…… saya ingin tau kenapa mata kamu bisa sembab kaya gitu…”

“oh…”

Saya kemudian menceritakan semua yang terjadi pada JIngga.

“Kenapa juga saya mesti nangis ya Teh? Harusnya saya kan seneng karena Cakra akhirnya punya pacar…”

“Jangan-jangan kamu jatuh cinta sama dia,” jawab Jingga datar.

Deg!

“Jatuh cinta? Saya jatuh cinta sama Cakra? Itu nggak mungkin Teh… ”

“Sekarang Teteh mau tanya beberapa hal. Tapi kamu jawabnya ya atau tidak aja ya. Oke? ”

“Oke,”

“Kamu merasa sakit hati ketika tahu Cakra jadian?”

“Iya,”

“Kamu merasa kehilangan Cakra?”

“Iya,”

“Kamu ingin tahu siapa perempuan yang merebut Cakra dari kamu? Ingin tahu seperti apa perempuan yang bisa mendapatkan hati Cakra yang dingin dan misterius itu?”

“Tapi perempuan itu nggak merebut Cakra dari saya, Teh. Saya bukan siapa-siapanya Cakra… Tapi emang saya ingin tahu siapa perempuan itu. ”

“Hmm, yang penting semua sudah jelas. Kamu jatuh cinta sama dia…”

“Jelas darimana? Saya nggak melihat kejelasan apapun. Yang ada saya malah makin bingung. Karena kalaupun ya, saya nggak tahu konsepsi cinta itu kayak gimana,”

“ Kalau begitu, mari kita adakan sesi tanya jawab lagi. Jawab ya atau tidak aja. Oke?”

“Oke,”

“Kamu selalu deg-degan ketika ketemu dia?”

“Tidak,”

“Kamu selalu memikirkan Cakra ketika kamu nggak lagi bareng sama dia?”

“Tidak,”

“Tapi kamu selalu khawatir kalau dia nggak ngasih kabar?”

“Iya. Gimana nggak khawatir? Dia sering ngilang gitu aja…”

“Kamu peduli sama dia?”

“Iya,”

“Kalau tanpa sengaja dia menyentuh tangan kamu, apa ada perasaan hangat yang muncul?”

“Nggak,”

“Aneh! Dari semua tanda-tanda yang udah saya tanyain sama kamu, harusnya kamu itu jatuh cinta sama Cakra. Tapi kok begitu ditanya soal reaksi tubuh dan segala macamnya, kamu nggak ngerasain itu ya? Padahal tanda-tanda jatuh cinta itu bisa dideteksi lewat reaksi tubuh. Tiba-tiba deg-degan, tiba-tiba merasa hangat…”

“Teh, mau tau yang lebih aneh lagi? Saya pernah ciuman sama Cakra. French kiss. Tapi saya nggak merasakan apapun. Heart beating, butterflies in my stomach, something warm…I didn’t feel that. Saya tahu Cakra juga tidak merasakan itu, ”

“Lalu, sebenarnya apa yang terjadi antara kamu dan Cakra?”

“Saya juga nggak tahu, Teh. Mungkin memang tidak ada perasaaan apapun di antara kami. We’re just friend. Dan semua tangisan itu hanya luapan karena saya merasa kehilangan seorang sahabat. Selama ini, Cakra memang salah satu orang yang paling dekat dengan saya. Wajar kan saya merasa kehilangan? Wajar kan kalau saya nangis karena merasa kehilangan orang terdekat saya?”

“ Ya, sangat wajar. Terlepas dari ada tidaknya perasaan-perasaan tertentu di dalamnya, kehilangan seseorang memang sakit. Jadi wajar kalau kamu nangis seperti itu…” jawab Jingga sambil menerawang. Sepertinya dia sedang teringat akan sesuatu.

“But, Lysa, the fact is, nothing last forever…suatu hari, suka nggak suka, kamu akan kehilangan orang-orang terdekat kamu, orang-orang yang kamu sayangi. It’s called life, huh? People come around and go around in our life. All we can do is just prepare ourself before it’s comin to our life. Sometimes we’re too selfish and forget about their presence. So, before it’s too late, from now on, don’t belive the quote ‘you don’t know what you got till it’s gone.’ You have to know what you got before it’s gone. Got it?”

“Yes, ma’am…”

“Dan satu lagi, ikuti kata hati kamu. Jangan biarkan segala ketakutan mengalahkan hati kamu. Jangan mengabaikan apa yang sebenarnya ada di sana. Sebaliknya, jangan mengada-ada sesuatu yang sebenarnya tak ada. Jangan sampai kamu menyesal nantinya. Karena penyesalan akibat tak mengikuti kata hati sangatlah menyesakkan, ” ujar Jingga dengan tatapan nanar.Ia seperti sedang berbicara kepada sendiri ketimbang memberi masukkan pada saya.

“Kenapa Teteh bisa ngasih saran seperti itu sama saya?”

“Hmm…kenapa ya? Hmm…karena feeling Teteh mengatakan, mungkin, perasaan di antara kalian itu sebenarnya ada. Tapi kalian berusaha untuk menghilangkannya karena banyak ketakutan di sana. Ketakutan-ketakutan yang sangat besar dan tak sanggup kalian hadapi. “

Mendengar penjelasan itu saya hanya terpaku.