Friday, February 5, 2010

Puntang-Panting di Puntang

Setelah berabad-abad lamanya tidak ngaleut, akhirnya saya diberi kesempatan lagi untuk bisa berkumpul dengan para pegiat Aleut. Maka Minggu (13/12) lalu, saya sengaja bangun pagi-pagi (padahal malamnya baru tidur jam empat subuh), mandi, dangdos, dan langsung berangkat ke Tegalega dengan menggunakan Elf.
Sampai di Tegalega, saya bertemu dengan para Pegiat Aleut yang saya cintai dan banggakan. Ada BR, Teh Cici, Teh Ana, A Yanto, Adi, Budhi, Bey, Eby, Icha, Dila, Ayan, Dimas, Cepy, Teh Yanstri, dan Elgy. Setelah semua pegiat datang, kami pun langsung menuju Wahana Gunung Puntang dengan menyewa angkot.
Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam, akhirnya kami sampai diWahana Gunung Puntang. Gunung ini berada di daerah Bandung Selatan. Actually, I don’t know where it’s located. Pokoknya daerah Banjaran deh….
Gunung yang menjulang tinggi berselimutkan ribuan pepohonan hijau dan udara yang bersih langsung membuat saya takjub. Beruntunglah. Di zaman semua developer berlomba-lomba untuk mengubah kawasan hijau menjadi deretan villa mewah, masih ada orang yang peduli dengan eksistensi kawasan hijau seperti Wahana Gunung Puntang. Ya setidaknya sampai saat ini.
Setelah membayar karcis sebesar Rp.5000, kami pun mulai memasuki kawasan tersebut. Tak berapa lama kemudian, seorang pemandu datang dan mulai berbincang-bincang dengan BR. Saya tidak tahu persis apa yang mereka bicarakan. Tapi sepertinya BR meminta petunjuk dari si pemandu tentang jalur dan tempat mana yang akan kami kunjungi hari itu. Akhirnya, Gua Jepang dan Curug Gentong menjadi tujuan perjalanan kami.
Sebelum mendaki gunung, kami beristirahat sejenak di sebuah warung. Sebagian pegiat sibuk memesan makanan, sedangkan saya memilih berfoto ria di reruntuhan radio dorf yang letaknya tak jauh dari warung tersebut. Radio dorf adalah sebuah desa/perkampungan yang menjadi tempat tinggal para pekerja Radio Malabar. Radio Malabar adalah radio yang dibuat oleh kolonial Belanda. Radio ini digunakan untuk berkomunikasi langsung dengan pemerintahan Belanda. Penasaran dengan sejarah Radio Malabar, saya langsung googling. Seperti dikutip dari www.pikiran-rakyat.com, Radio Malabar dibuat oleh seorang berkebangsaan Belanda bernama Dr. de Groot. Ketika itu, Stasiun Pemancar Malabar sangat fenomenal karena antena yang digunakan untuk memancarkan sinyal radio memiliki panjang lebih dari 2 km. Antenna tersebut membentang di antara Gunung Malabar dan Halimun dengan ketinggian mencapai 500 meter dari dasar lembah. Hebatnya lagi, penerima sinyal ini sampai ke Padalarang (yang jaraknya 15 m ) dan bahkan ke Rancaekek (18 m). Selain mendapatkan informasi soal kehebatan Rado Malabar, saya juga mendapatkan foto bangunan pemancar radio Malabar. Ini dia fotonya (KEREN BANGET BANGUNANNYA…!!!)



[navigasi.net] Tempat Bersejarah - Gunung Puntang Foto tahun 1925 ,
bangunan pemancar radio Malabar, sayang sudah dibumi hangus,
karena dicurigai dipakai sarang mata-mata pada saat perang kemerdekaan.

Tak hanya bangunan pemancar radio Malabar yang dibumihanguskan, radio dorf juga bernasib sama. Katanya sih, radio dorf dibumihanguskan oleh pribumi pada saat peristiwa Bandung Lautan Api. Saya sendiri belum sempat memferivikasi informasi tersebut. Jadi kalau ada teman-teman yang tahu tentang hal ini, tolong diinformasikan ya kebenarannya….
Karena perut sudah minta diisi, saya pun bergegas ke warung dan memesan semangkuk bakso. Sambil makan bakso, saya dan para pegiat Aleut pun bercengkrama. Setelah melahap habis semua makanan, kami pun memulai perjalanan. Tujuan pertama kami adalah gua peninggalan Belanda. Di depan gua, seorang pemandu sudah menunggu sambi membawa sebuah petromak. Kemudian kami pun memasuki gua tersebut. Gua ini sama seperti gua pada umumnya. Gelap, pengap, becek, dan banyak kelelawarnya. Di dalam gua terdapat sebuah lapisan yang terbuat dari beton. Si pemandu berkata bahwa dulu gua tersebut menjadi tempat penyimpanan alat-alat pemancar. Makanya dibuat lapisan beton agar tidak terkena tetesan air.
Setelah puas melihat gua, kami pun mulai mendaki. Ditemani tiga orang pemandu, selama perjalanan menuju Curug Gentong, kami menemukan berbagai hal unik. Kami melewati sebuah kolam yang diberi nama “Kolam Cinta” karena bentuknya yang seperti hati. Kami juga harus menaiki anak tangga tua, beberapa kali menyusuri sungai, menyebrangi jembatana gantung, dan melewati padang rumput yang sangat cantik. Dasar narsis, setiap menemukan tempat yang unik, kami pasti langsung ambil pose untuk berfoto.
Banyak tanjakan atau turunan terjal yang sulit untuk dilewati ketika melakukan perjalanan ini. Kami juga diingatkan pemandu untuk berhati-hati terhadap beberapa jenis pohon dan tanaman. Salah satunya adalah tanaman Tereuptep. Tanaman ini berbentuk seperti hati dan terdapat banyak duri di daunnya. Jika kita terkena durinya, maka tubuh kita akan gatal dan terasa perih. Beberapa orang dari kami sempat terkena duri tanaman tersebut. Untunglah saya memakai jaket sehingga terhindar dari “sengatan” Tereupteup.
Setelah melakukan pendakian selama kurang lebih tiga jam, akhirnya kami sampai di Curug Gentong. Ternyata air terjunnya tidak seperti yang saya bayangkan. Air terjunnya tidak luas. Jadi kami tidak leluasa untuk bergerak. Untuk mencapai Curug Gentong saja, kami mesti melewati jembatan yang terbuat dari batang pohon yang ditelentangkan. Ngeriiii… Teh Cici saja sampai menangis ketika melewati jembatan itu.
Ketika memasukkan kaki ke dalam air, saya langsung merinding. Airnya dingin banget! Mirip dengan air yang didinginkan dalam kulkas. Boro-boro mau berenang di curug itu, alih-alih saya malah kedinginan. Setelah beristirahat sejenak, kami pun bergegas pulang karena hari sudah menjelang sore. Langit juga sudah terlihat mendung. Melewati turunan dan tanjakan terjal lagi, melewati tanaman Tereupteup yang menakutkan itu lagi, serta menyusuri sungai yang airnya dingin seperti es lagi. Jujur, saya benar puntang-panting ketika mengikuti perjalanan ini. Pertama, karena kondisi fisik saya memang sedang kurang fit (kurang tidur dan kurang makan). Kedua, karena saya sudah lama tidak naik gunung. Dan ketiga, jalurnya terjal (bahkan pemandunya bilang kalau kami lah orang pertama yang melewati jalur tersebut) sehingga beberapa kali saya terperosok. Keempat, karena saya tidak membawa cukup bekal uang dan makanan sehingga saya merasa puntang-panting sekali. Namun setidaknya, meskipun puntang- panting, saya tetap merasa bangga karena bisa menaklukan Puntang hari itu.

0 comments: