Sunday, May 30, 2010

Secangkir Kopi Pahit.

secangkir kopi yang kau beri,
jangan kau anggap sebagai obat penangkas kantuk.
mata tak pernah lagi mengantuk
menyaksikan ampas tersisa dalam cangkir.

secangkir kopi yang kau beri,
bukan sogokan yang akan melegakan haus.
karena rasa manisnya tersamar
bahkan tak terasa sama sekali.

jangan kau beri lagi,
secangkir kopi lainnya.
lidah kelu,tenggorokan kering,
karena pahitnya tetap tertinggal.


-untuknya yang "memaksaku" meminum"kopi pahit"

Sunday, May 9, 2010

Dialog Ambang Pintu

“tok tok tok…!!!”

ia membuka pintu.

“Hei kamu, saya pikir siapa. Ayo masuk!”

Dia tak bergeming.

Ia mengernyitkan dahi. Bingung.

“Kamu kenapa? Ada masalah? Ayo masuk, di luar dingin! Nanti kamu sakit,”

Dia kemudian berkata,

“saya mau pamit,”

Ia semakin tak menegrti.

“Pamit? Memang kamu mau pergi kemana?”

“Ke tempat dimana saya tidak bisa mencium wangi kamu lagi. Ke tempat dimana saya bisa bernafas lega. selama ini saya selalu merasa sesak ketika berada di dekat kamu,”

“saya tidak mengerti! Kamu kenapa? Kamu sakit? Ada masalah? Ada yang mengganggu kamu? Bilang sama saya! Ada apa?” kata ia seraya membelai wajah perempuan di depannya.

“Cukup! Berhenti bersikap baik pada saya!” seru dia setengah berteriak.

Ia kaget. Ia melepaskan tangannya dari wajah itu.

Keduanya saling memandang.

“sikap baik kamu hanya akan menyulitkan saya…Ah, saya buang-buang waktu di sini. saya harus pergi,” ujar dia sembari beranjak meninggalkan tempat itu.

“sikap baik saya yang mana yang menyulitkan kamu?”

Dia berhenti. Berbalik arah dan menatap wajah ia lekat-lekat.

“Kamu tahu sendiri jawabannya,”

“saya tidak tahu…”

“kamu tahu!”

“saya tidak tahu!”

“Kamu seharusnya tahu!”

“Bagaimana saya bisa tahu kalau kamu tidak pernah memberi tahu?”

“Bagaimana saya bisa memberi tahu kalau kamu tidak pernah memberi saya kesempatan untuk memberi tahu?”

“Kok jadi berputar-putar sih? Ada apa sih ini sebenarnya? maksud kamu mau pergi itu kenapa? memang ada yang salah dengan saya? Kalau kamu keberatan dengan sikap saya selama ini, fine! Tapi jelaskan dulu kenapa kamu merasa seperti itu…saya, saya tidak paham… “

“…”

“…”

Dia menghela nafas. Tak lama kemudian dia berkata,

” Kamu egois. Kamu ingin saya selalu ada di sini. Menjadi penyemangat ketika kamu jatuh. Menjadi sandaran ketika kamu tidur…Tapi tidak pernah ada sedikitpun ruang untuk saya di sana. Hati dan pikiranmu hanya untuk perempuan yang menjadi obsesimu itu. Tak pernah ada saya di sana. Tiap sentuhan dan pelukan yang kamu beri, apa artinya? Tidak ada, kan? Demi tuhan, saya bukan robot. Saya masih punya perasaan, saya masih perempuan biasa. “

“Tapi…” belum sempat ia melanjutkan pembicaraanya, dia telah memotong.

“Saya belum selesai bicara, tolong jangan potong kalimat saya! Hhh… Pasti kamu akan berkata;’lalu kenapa kamu mau? saya tidak pernah memaksa kamu,’…Ya, itu juga yang menjadi pertanyaan saya selama kita bersama. Katakanlah, kepedulian yang terlampau besarlah yang membuat saya terus bertahan di sini. Lalu kemudian saya sadar. Untuk apa saya tetap disini, bersikeras untuk sesuatu yang tak mungkin saya dapatkan? Saya tidak pernah menyesal, sungguh. Saya anggap itu sebagai bentuk kepedulian saya, wujud nyata sebagai makhluk sosial. Sisanya, saya memilih untuk tidak terlibat dalam hidup kamu lagi. Biar tak ada lagi sakit. Biar tak ada lagi beban. Kamu pun bebas, terlepas. “

Dia memeluk ia erat.

“Saya tidak menginginkan apapun, sungguh. Bahkan dalam kasus ini, keinginan saya sudah tak penting lagi. Tapi jika kamu masih memiliki sedikit penghargaan pada perempuan ini, tolong hargai sikap saya. Jangan hubungi saya lagi, terima kasih.” Ujarnya sambil meninggalkan kos-kosan lelaki itu.

Ia hanya terpaku di ambang pintu kamarnya. Tak tahu mesti berbuat apa.

Tuesday, May 4, 2010

Cerita-cerita : Memori Altar

Bangunan ini begitu megah dan sakral. Jendelanya tinggi, dilapisi kepingan mozaik yang memantulkan warna indah. Di dalamnya, puluhan bangku yang terbuat dari kayu Mahoni berderet rapi. Bangku-bangku tersebut menghadap ke arah yang sama; patung sang juru selamat yang terpasung.

Tempat ini semakin cantik dengan dekorasi mawar putih dan hiasan pita berwarna biru di sekelilingnya. Karpet dengan warna senada terhampar dari pintu masuk sampai depan altar. Sepertinya ia tak sabar ingin diinjak sang mempelai yang tak lama lagi memasuki ruangan ini.

Aku berdiri di depan altar. Berdecak kagum dengan apa yang ku lihat. Sempurna. Aku jadi ingat tatapan tak percayamu ketika aku bisa menyewa katedral ini sebagai tempat pemberkatan pernikahan kita.

“Kamu serius? Sekarang kan Bulan Desember, biasanya Katedral itu tidak menerima acara pemberkatan pernikahan!”

“No, I dont. Nih, lihat buktinya…” jawabku seraya menyerahkan selembar kertas padamu. Kamu membacanya keras-keras.

” pernikahan atas nama Mario Wijaya dan Catherine Natasha. Katedral Santa Petrus, 18 Desember… I cant believe it!”

“You have to…”

“Rio…How come? Katedral itu selalu menjadi tempat impian menikahku sedari kecil…dan 18 Desember? aku akan menikah di hari ulang tahunku sendiri? For Christ’s shake…Sayang, aku…aku benar-benar speechless… “

“I will do everything for you, darling…”

Aku berjalan mengitari ruangan. Masih ada waktu setengah jam lagi sebelum pemberkatan dilaksanakan. Tamu pun belum berdatangan. Catherine, apa yang kamu pikirkan ya sekarang? Apa kamu sama gugupnya seperti aku? Huh, sungguh aku tak sabar ingin melihatmu dengan gaun pengantin rancangan desainer favoritmu itu. Sungguh aku tak sabar menyematkan cincin di jari manismu. Sungguh aku ingin segera mengumumkan pada dunia kalau kamu adalah istriku. Milikku.

Pandanganku kemudian tertuju ke pojok ruangan. Di sana terletak sebuah piano tua berwarna hitam. Setelah pemberkatan, aku akan memberikan kejutan untukmu. Aku akan bernyanyi sambil memainkan tuts-tuts piano untukmu. Ya, ya, ya. Mungkin ide ini terlihat konyol. Apalagi kamu tahu suara dan kemampuan bermain pianoku di bawah rata-rata. Apalagi jika dibandingkan dengan kemampuanmu. Tapi hari ini aku akan buktikan. Demi kamu, demi pernikahan kita. Tenang, aku tidak akan membuat tamu undangan kecewa. Kamu tak tahu kan kalau diam-diam aku les piano dan les vokal demi kesuksesan penampilanku nanti?

Kamu tidak pernah menyangka kan kalau aku yang akan menjadi pendampingmu? Pada awalnya juga aku berpikir demikian. Tapi bukan Mario namanya kalau tidak bisa mendapatkan yang ia inginkan. Prinsipku, tak ada yang tak mungkin dalam hidup ini. Termasuk untuk mendapatkan hatimu?

“Sinting kamu Mario!”

“Orang jatuh cinta kok dibilang sinting? Apa salah saya cinta sama kamu?”

“Tapi saya sudah punya tunangan! Saya sudah mau jadi istri orang…Kok kamu nekat banget sih???”

“Tapi belum kan? Selama belum ada pemberkatan, berarti saya masih bisa mendapatkan kamu!”

“Kamu gila, Mario! Kayak nggak ada perempuan lain aja di dunia ini…”

“Memang nggak ada. Saya yakin kamu adalah perempuan yang tepat untuk saya. Saya tahu itu sejak pertama kali bertemu kamu. Yang penting kan saya usaha dulu?”

“…”

Tentu kita tahu akhir ceritanya kan, Cathy? Akhirnya saya bisa mendapatkan kamu. Tidak gampang. Susah sekali malah. Apalagi saya harus menyusun strategi agar tidak seperti penghancur hubunganmu dengan mantan tunanganmu itu. And i won the battle. Hahahaha. Ini saja sudah membuktikan bahwa mantan tunanganmu itu tak pantas menjadi pendamping hidupmu. Kalau memang dia lelaki tulen, harusnya ia juga berusaha mempertahankanmu kan?

kreeeeeeeekkkk……

Aku menoleh ke arah pintu. Seorang perempuan paruh baya muncul dari luar ruangan. Ternyata itu ibumu. Ibumu cantik sekali. Mirip sepertimu. Aku jadi ingat bagaimana usahaku untuk mendapatkan hati ibumu. Beliau adalah satu-satunya orang yang menentang hubungan kita. Apalagi ibumu kadung simpatik dengan mantan tunanganmu itu. Tapi sepeti yang aku bilang, aku selalu bisa mendapatkan yang aku inginkan. Perihal meluluhkan hati ibumu sih kecil. Hahahhaha.

Ibumu berjalan medekatiku. Nafasnya memburu. Jalannya tergesa-gesa. Begitu sampai di hadapanku, ibumu langsung memelukku erat.

“Ada apa bu?” tiba-tiba perasaanku tak enak.

“…”

“…”

“Nak….Nak…Catherine dan ayahnya mengalami kecelakaan…kedua nyawanya tak tertolong lagi…” ujar ibumu sambil terisak.

Kemudian semua mendadak oleng. gelap. dan aku tak sadarkan diri.

Laila, Gadis Kecil Berambut Ijuk

Laila, gadis kecil berambut ijuk.
umurnya kurang lebih delapan tahun.
ia tak bersekolah,
” tak punya biaya,” keluhnya.
ayahnya kuli, ibunya buruh cuci.
jangankan sekolah,bisa makan saja sudah untung.

Laila, gadis kecil berambut ijuk.
umurnya kurang lebih delapan tahun.
sehari-hari bekerja demi membantu orang tua.
berdendang di atas gerbong kereta.
menyanyi lagu dangdut dengan tape butut.
suara cemprengnya menyeruak di sela kerumunan penumpang.

Laila, gadis kecil berambut ijuk.
umurnya kurang lebih delapan tahun.
hasil mengamen tak lantas menjadi miliknya.
ia mesti berbagi dengan si punya tape,
“uang sewa tape,” begitu katanya.
ia mesti membayar preman yang memalaknya.
kadang ia hanya membawa pulang uang receh.

Laila, gadis kecil berambut ijuk
umurnya kurang lebih delapan tahun.
kadang ia cemburu pada anak sebayanya.
memakai seragam, bermain sambil bercanda di pekarangan sekolah,
memakan es krim, membeli mainan baru…
semua keriaan masa kanak-kanak.

Laila, gadis kecil berambut ijuk
umurnya kurang lebih delapan tahun.
sayang ia tak bisa memilih,
terlalu takut untuk berontak,
tak mengelak, tak menolak.
“ya mungkin sudah nasib,”

Sajak-sajak: Mengelilingi Dunia Mu

aku ingin melihat kepingan mozaik yang tersusun indah di katedral-katedral Eropa.

aku ingin menyentuh lembut pasirmu, hei gurun-gurun di Timur Tengah.

aku ingin menyapa eksotika alam Afrika.

aku ingin bercengkrama dengan rekan satu ras di benua Asia.

aku ingin mengelilingi dunia Mu, tuhan.

Celoteh Busuk : Nyaman

Mungkin saya memang tidak penuh pesona seperti orang-orang yang pernah hadir di kehidupan kamu sebelumnya. Mungkin saya tidak sehebat orang-orang yang menjadi idolamu. Tapi saya menawarkan ini untukmu : rasa nyaman. sehingga kau tak perlu menjadi orang lain.