Sunday, May 9, 2010

Dialog Ambang Pintu

“tok tok tok…!!!”

ia membuka pintu.

“Hei kamu, saya pikir siapa. Ayo masuk!”

Dia tak bergeming.

Ia mengernyitkan dahi. Bingung.

“Kamu kenapa? Ada masalah? Ayo masuk, di luar dingin! Nanti kamu sakit,”

Dia kemudian berkata,

“saya mau pamit,”

Ia semakin tak menegrti.

“Pamit? Memang kamu mau pergi kemana?”

“Ke tempat dimana saya tidak bisa mencium wangi kamu lagi. Ke tempat dimana saya bisa bernafas lega. selama ini saya selalu merasa sesak ketika berada di dekat kamu,”

“saya tidak mengerti! Kamu kenapa? Kamu sakit? Ada masalah? Ada yang mengganggu kamu? Bilang sama saya! Ada apa?” kata ia seraya membelai wajah perempuan di depannya.

“Cukup! Berhenti bersikap baik pada saya!” seru dia setengah berteriak.

Ia kaget. Ia melepaskan tangannya dari wajah itu.

Keduanya saling memandang.

“sikap baik kamu hanya akan menyulitkan saya…Ah, saya buang-buang waktu di sini. saya harus pergi,” ujar dia sembari beranjak meninggalkan tempat itu.

“sikap baik saya yang mana yang menyulitkan kamu?”

Dia berhenti. Berbalik arah dan menatap wajah ia lekat-lekat.

“Kamu tahu sendiri jawabannya,”

“saya tidak tahu…”

“kamu tahu!”

“saya tidak tahu!”

“Kamu seharusnya tahu!”

“Bagaimana saya bisa tahu kalau kamu tidak pernah memberi tahu?”

“Bagaimana saya bisa memberi tahu kalau kamu tidak pernah memberi saya kesempatan untuk memberi tahu?”

“Kok jadi berputar-putar sih? Ada apa sih ini sebenarnya? maksud kamu mau pergi itu kenapa? memang ada yang salah dengan saya? Kalau kamu keberatan dengan sikap saya selama ini, fine! Tapi jelaskan dulu kenapa kamu merasa seperti itu…saya, saya tidak paham… “

“…”

“…”

Dia menghela nafas. Tak lama kemudian dia berkata,

” Kamu egois. Kamu ingin saya selalu ada di sini. Menjadi penyemangat ketika kamu jatuh. Menjadi sandaran ketika kamu tidur…Tapi tidak pernah ada sedikitpun ruang untuk saya di sana. Hati dan pikiranmu hanya untuk perempuan yang menjadi obsesimu itu. Tak pernah ada saya di sana. Tiap sentuhan dan pelukan yang kamu beri, apa artinya? Tidak ada, kan? Demi tuhan, saya bukan robot. Saya masih punya perasaan, saya masih perempuan biasa. “

“Tapi…” belum sempat ia melanjutkan pembicaraanya, dia telah memotong.

“Saya belum selesai bicara, tolong jangan potong kalimat saya! Hhh… Pasti kamu akan berkata;’lalu kenapa kamu mau? saya tidak pernah memaksa kamu,’…Ya, itu juga yang menjadi pertanyaan saya selama kita bersama. Katakanlah, kepedulian yang terlampau besarlah yang membuat saya terus bertahan di sini. Lalu kemudian saya sadar. Untuk apa saya tetap disini, bersikeras untuk sesuatu yang tak mungkin saya dapatkan? Saya tidak pernah menyesal, sungguh. Saya anggap itu sebagai bentuk kepedulian saya, wujud nyata sebagai makhluk sosial. Sisanya, saya memilih untuk tidak terlibat dalam hidup kamu lagi. Biar tak ada lagi sakit. Biar tak ada lagi beban. Kamu pun bebas, terlepas. “

Dia memeluk ia erat.

“Saya tidak menginginkan apapun, sungguh. Bahkan dalam kasus ini, keinginan saya sudah tak penting lagi. Tapi jika kamu masih memiliki sedikit penghargaan pada perempuan ini, tolong hargai sikap saya. Jangan hubungi saya lagi, terima kasih.” Ujarnya sambil meninggalkan kos-kosan lelaki itu.

Ia hanya terpaku di ambang pintu kamarnya. Tak tahu mesti berbuat apa.

0 comments: