Saturday, July 17, 2010

Cakra dan Lysa: I Remember (edisi 3)

Akhir Desember, satu tahun yang lalu

PUTUS

P-U-T-U-S

Satu kata yang mungkin paling dihindari oleh mereka yang sedang memadu romansa. Atau sebaliknya, mungkin kata itulah yang paling ingin diucapkan ketika dua sejoli sedang dalam nelangsa. However, Breaking up with your oh-so-called-beloved-boyfriend/girlfriend is sucks, rite? Apalagi ketika kamu masih cinta padanya. Apalagi ketika kamu (sialnya) diputuskan karena alasan-alasan yang klise.

“Satu tahun bukan waktu yang sebentar, Lysa …aku takut kita nggak berhasil melewati ini,”

“Seingatku,selama hampir dua tahun pacaran, kita long distance. Lalu apa bedanya?”

“Aku akan ke Jepang Lysa, bukan di Depok!”

“ Apa gunanya manusia menciptakan teknologi bernama telepon dan internet? Kita kan masih bisa telepon, chatting, video call…kok kamu jadi ragu gini sih? Bukannya selama ini kamu yang selalu meyakinkanku kalau jarak bukan penghalang? ”

“Aku sedang fokus dengan kuliahku, Lysa…justru aku nggak mau nyakitin kamu. Kamu tau kan aku sibuk, banyak kegiatan. Aku takut nggak bisa menjadi pacar yang baik karena nggak bisa membagi waktu… ”

“Dan kamu baru bilang itu sekarang, setelah dua tahun kita pacaran? What a cliché! Is there any logic reason, Rahyang Sadewa??? You know what, You’re such a selfish person!”

“Yeah, I am. Sorry,”

“Ok, I got the point then…it’s over now. ”

“Am sorry, we’re still a friend, aren’t we?”

“Hmm,yeah, of course…”

Kenapa lelaki sering sekali memberi alasan klise ketika akan memutuskan pacarnya? Kalau memang sudah jenuh, bosan, jengah, tak cinta, atau suka sama perempuan lain, ya katakan saja! Apa susahnya sih? I know that most of women love white lies. But for me, knowing the truth is better. Even it will kills me.

Tapi ya sudahlah. Saya bukan tipe pemaksa. Saya tidak akan memaksa dia untuk tetap disini. Sebuah hubungan harus didasari atas kemauan dua orang. Kalau salah satu sudah tidak mau, ya mau apalagi?

Moreover, plenty of fish in the sea.

He’ll replacable.

I’ll fine without him.

Tidak percaya?

Hmm,oke, tidak semudah itu juga sih menggantikan posisi Rahyang.

Hmm baiklah, saya mengaku. Saya tidak baik-baik saja.

My two years relationship is over.

And the worst part is,

I’m still loving him.

ARGH!

Hari-hari berikutnya saya habiskan dengan mengurung diri di kamar. Terbukti, saya memang gadis sok kuat dengan tingkat kegengsian di atas rata-rata.

Januari

“ Welcome, new year! It’s time to forget the past and start a new life. What’s your resolutions then?”

“None.”

“Ayolah Licong...masa kamu nggak punya resolusi sih?”

“Memang harus punya resolusi? Memang ada peraturan yang mewajibkan manusia membuat resolusi tiap awal tahun?”

“Widih, galak amat Bu! Ya nggak ada peraturannya sih. Tapi kan dengan punya resolusi, kamu jadi punya target. Hal-hal apa saja yang akan kamu lakukan untuk memperbaiki diri dari tahun sebelumnya. It’ll be motivating you though…” jelas Teh Jingga sambil menyalakan rokok di tangannya.

“Jadi, apa resolusi kamu?” lanjut Teh Jingga.

“Tidak akan jatuh cinta untuk jangka waktu yang tidak ditentukan. There’s no such thing as love , “

Teh Jingga kemudian menatap wajah saya lekat-lekat.

“Masih keingetan Rahyang?”

“…”

“Hhh…Licong Sayang…kamu kayak nggak pernah ngerasain patah hati aja sebelumnya. Bukankah itu konsekuensi dari mencintai? Jadi jangan bilang nggak akan jatuh cinta lagi…Pamali lho!”

“Hhh..kenapa saya kemaren mau-maunya mengantarkan Rahyang ke bandara? Argh…bodohnya!”

“Itu membuktikan kalau kamu masih peduli sama dia,”

“Ya tapi buat apa peduli sama orang yang jelas-jelas tidak memedulikan kita lagi? Lagian kok saya mau-maunya ngikutin permintaan dia! Toh itu tidak akan membuat dia kembali sama saya… ”

“Hmm, kalau bagi teteh sih, kepedulian yang didasari oleh ketulusan sudah lebih dari cukup ketimbang terus memikirkan bagaimana cara agar orang itu peduli pada kita. Terkadang memang kita harus puas dengan memberi,tanpa pernah diberi. Tapi ya kamu juga benar. Kadang-kadang segala sesuatu harus seimbang. What we usually called: take and give…ribet ya? Hahaha… udah ah Cong, jangan sedih terus. Kita nongkrong-nongkrong aja mendingan, yuk!”

“lagi nggak mood,”

“ayolaaaahhhh….kita ngopi-ngopi di daerah Dago atas”

“kan saya nggak suka kopi,”

“Heuh kamu mah meuni sagala nggak suka. Coklat, es krim, kopi…pantes aja badan kamu kurus gitu. Ya udah lah kita sightseeing di sana…”

“Hmm…ya udah, ”

***

Selasar Art Space selalu menjadi tempat favorit Teh Jingga. Ia bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengamati lukisan dan karya seni yang dipamerkan disana, menyaksikan pertunjukkan para seniman di amphitheatre, atau sekedar menikmati city view sambil menyeruput capucinno. Sepertinya Selasar Art Space juga akan menjadi tempat favorit saya. Jujur, saya langsung jatuh hati begitu pertama kali datang ke galeri tersebut.

“Serius baru pertama kali datang ke sini?” Tanya Teh Jingga dengan tatapan tak percaya. Saya mengangguk,

“You know that am not a café person…”

“it’s not just a café. . .it’s an art gallery! You ought to come to this place since a long long time ago,”

“Haha. Udah sejak lama ingin kemari. Tapi nggak pernah ada temen…I’m not that ‘’GAUL”, you know that…”

“That’s why I invite you to this place, ”

“Thanks for inviting me then ,such an honour for me, Mrs.Jingga .. “

“Wah, kayaknya lagi ada performance di amphiteathre…lihat ke sana yuk?” seru Teh
Jingga seraya mengajak saya ke tempat tersebut. Begitu sampai kesana, kami melihat seorang perempuan tengah membacakan puisi di atas panggung.

“Rame juga penontonnya. Ada acara apa sih Teh?”

“Nggak tau. Bentar Teteh Tanya dulu,” Teh Jingga kemudian bertanya kepada orang yang duduk disebelahnya.

“Anak FSRD lagi ngadain pameran seni rupa gitu katanya di tempat ini. Pertunjukkan disini juga salah satu rangkaian acara mereka katanya…”

“Oh…”

“Mau liat pamerannya nggak? Skalian ngeceng-ngeceng sama anak FSRD…ha ha ha,” seru
Teh Jingga

“Haha. Liat pamerannya sih mau. Tapi untuk ngeceng-ngecengnya nggak deh!”

“Duh, yang lagi patah hati…plenty of fish in the sea darling, believe me…!”
Saya Cuma tersenyum simpul sambil kembali memperhatikan jalannya acara. Tiba-tiba pandangan saya terhenti pada satu titik. Mata saya terfokus pada sesosok manusia yang sedang berdiri di pinggir panggung. Saya perhatikan sosok itu lekat-lekat. Sepertinya saya tak asing dengan sosok tersebut…


YA TUHAN!

“Eh, kita pesen makan yuk…Teteh udah laper nih,” Ujar Teh Jingga seraya beranjak dari tempat tersebut.

“Hmmm, Teh toilet dimana sih? Teteh duluan aja, saya mau ke toilet dulu. Nggak apa-apa kan?”

Teh Jingga mengangguk sambil menunjukkan arah toilet. Setelah Teh Jingga pergi, saya kemudian mendekati panggung.

“Cakra?”

Lelaki itu menoleh.

“Lysa! Wow, kita ketemu lagi! Lagi ngapain di sini?”

“Hahaha, such a coincidence again! Sepupu saya lagi ingin ngopi, jadi saya temenin deh. Kamu sendiri?”

“there’s no such thing as coincidence! Fakultas saya lagi ngadain pameran seni rupa gitu. Nah, saya jadi panitia sekaligus pengisi acara. Eh, saya udah disuruh tampil nih. Kamu jangan kemana-mana ya! Jangan ngilang kayak pas lomba foto waktu itu!”
Saya mengangguk.

“Eh, beneran! Jangan kemana-mana! Saya tampil Cuma 15 menit kok,”
Saya mengangguk lagi.

Cakra naik ke atas panggung sambil membawa gitar. Bersama dengan tiga temannya, ia membawakan beberapa buah lagu secara akustik. Well, I’m starting to believe that there’s no such thing as a coincidence! Tiga kali sudah kami bertemu di tempat yang tak terduga. There must be something behind our rendezvous. Something called destiny, maybe?

Anyway, lelaki bernama Cakra itu, selain jago memotret juga ternyata mahir bermain gitar. Saya sedang terhanyut dengan penampilan Cakra dan bandnya ketika tiba-tiba ponsel saya berdering.

“Heh, kamu lagi ngapain sih? Kok ke toilet lama banget??? ”

Ya ampun, Teh Jingga!

“Eh, teteh maaafff…..saya ketemu temen disini. Dia minta saya untuk liat performance nya. Ya udah bentar lagi saya ke sana ya selesai dia manggung. Atau teteh mau kesini?”

“Oh ya udah kamu liat aja dulu. Teteh juga lagi hotspotan kok…”

“Ok Teh, makasih ya. Nanti kalau udah selesai saya langsung ke sana ya…”

Klik.

Cakra baru saja menyelesaikan lagu terakhirnya. Tak lama kemudian dia turun dari panggung dan menghampiri saya.

“Ternyata kamu anak band juga?”

“Haha. Ya begitulah. Mengisi waktu luang. Sama kayak fotografi, iseng-iseng aja. Daripada nggak ada kegiatan,”

“Kenapa nggak diseriusin aja? Seems like you’re potential in those fields”

“ Saya sama anak-anak juga lagi mau buat EP. Kalau untuk fotografi sendiri, jujur aja, saya mulai berpikir untuk menggelutinya secara serius. Apalagi setelah ikut lomba kemarin,”

“Baguslah kalau begitu! Ohya, hadiahnya dipakai buat apa? Secara dapet lima juta….hahahaha”

“Sebagian saya tabung buat beli lensa. Sebagian lagi saya kasih buat Bu Ratna,”

“Bu Ratna? Ibu kamu?”

“Bukan, bukan. Ibu Ratna itu objek yang ada di foto saya. Kamu masih inget kan foto saya? Setelah peristiwa KDRT itu, saya membawa beliau ke sebuah LSM. Beliau nggak punya saudara di Bandung. Nggak punya tempat tinggal, nggak punya kerjaan… Saya emang nggak bisa ngasih banyak. Tapi setidaknya beliau bisa menyambung hidupnya. Kadang saya ngerasa bersalah. Saya motret seseorang yang lagi kena musibah, trus saya dapet juara lagi. Seperti mendapat keuntungan di atas penderitaan orang lain, ”

“Tapi kan kamu nggak sengaja ketemu Bu Ratna? Lagian bagi Bu Ratna, mungkin kamu adalah penyelamat hidupnya…Trus gimana keadaan Bu Ratna dan anak-anaknya? Beliau tinggal dimana sekarang?”

“Bu Ratna masih tinggal di Rumah Pelangi. Dari hari itu saya belum sempat mengunjungi Bu Ratna lagi. Malah saya baru mau ngasih uang itu besok…Kamu mau ikut? Ya kali aja kamu nggak ada kegiatan. Kalau nggak salah, besok juga akan ada gathering… kamu bisa cari tau soal KDRT dan sebagainya. Nyambung juga kan sama kuliah kamu?”

“Liconnngg, udah selesai belum urusannya? Teteh sendirian nih di sana…” tiba-tiba terdengar suara Teh Jingga memanggil nama saya.

“Udah kok Teh…eh iya, kenalin ini temen saya, Cakra. Cakra, kenalin ini Jingga, sepupu saya.”

Mereka pun berkenalan.

“Hmm…ohya, Cakra, sepertinya menarik. Tapi lihat besok deh ya! Kalau gitu saya duluan ya. Terima kasih atas tawarannya,“

“Oke. Saya minta nomer handphone kamu deh,biar besok gampang kabar-kabarinya.”
Kami bertukar nomor ponsel. Setelah itu saya beranjak dari tempat tersebut. Teh Jingga langsung menginterogasi saya dengan berbagai pertanyaan.

“Kok kamu nggak cerita punya temen sekeren itu?”

“Orang baru kenal juga kok Teh…”

“Kenal dimana? ”

“Wah bingung juga nyeritainnya…” saya kemudian menjelaskan asal mula mengenal Cakra.

“Aneh bangeeet!!! Terus dia minta nomer hape kamu buat apa? Cieeeeeeeee…”

“Cie kenapa lagi ini? Dia mau ngajakin saya ke LSM besok. Ah,tapi saya nggak akan terima tawaran dia. Kenal aja belum, ”

***

Akhirnya saya menerima ajakan Cakra. He’s stranger, I know. Tapi tawarannya memang menarik. Dia mengajak saya ke tempat yang selalu saya ingin kunjungi. Dia juga terlihat seperti orang baik-baik. Selain pintar, multitalenta…

Oke,oke. Cukup!

Sebenarnya, keputusan ini juga tidak diambil sembarangan. Saya telah berkonsultasi dengan Madam Jingga mengenai hal ini. Dia malah mendukung saya dengan kata-kata mujarabnya:

“ Kapan lagi kamu jalan bareng sama lelaki keren kayak gitu! Kalau Teteh jadi kamu, udah teteh terima ajakannya langsung…”

“Terus gimana kalau sebenarnya dia adalah agen penjualan organ tubuh illegal? Gimana kalau Saya diculik terus dimutilasi? Gimana kalau jantung dan mata saya dicongkel?”

“Hush, kamu kebanyakan nonton sinetron! jangan berpikiran negatif gitu ah! Kamu tetep terima tawaran dia. Kalau ada apa-apa langsung hubungi teteh ya! Kalau dia mulai bertindak aneh-aneh, langsung teriak aja! Lari sekencang-kencangnya!”
Keesokan harinya, saya bertemu Cakra di daerah Dipati Ukur. Ia sedang menunggu di halte bis ketika saya datang. Ia mengenakan kaos hitam berlapiskan kemeja flannel, celana jeans yang bagian lututnya sobek, serta sepatu converse classic. Sambil mengucir rambut sebahunya, dia menyapa saya.

“Hei, apa kabar Lysa?” ujarnya ramah. Matanya membentuk garis horizontal ketika tertawa. Semilir wangi parfum lelaki langsung tercium begitu saya mendekatinya. Well, saya baru sadar kalau dia (ternyata) memang ganteng. Tipe lelaki sejati; manly, cuek, tapi tetap terlihat keren.

“Baik. Berangkat sekarang?”

“Boleh. Yuk!” jawab Cakra sambil mematikan rokoknya. Ia kemudian mengajak saya ke parkiran motor yang tak jauh dari halte bis.

“Perkenalkan, ini Annelis. Annelis ini pacar pertama saya,” kata Cakra sambil menunjukkan motornya.

“Hahaha”

“Kok ketawa sih? Perkenalkan diri dulu dong ke pacar saya. Kalau nggak memperkenalkan diri nanti dia ngambek lho! Kalau dia mogok kan kita yang repot… ” seru Cakra dengan tampang serius.

“Masa? Oh, oke kalau begitu. Halo Annelis, saya Lysa. Salam kenal! ”
Saya kemudian mengambil helm dari tangan Cakra dan naik ke atas motornya.

Tiba-tiba Cakra memekik,

“Haduh…siaaaaallll!!!”

“Kenapa Cakra? Ada masalah?”

“Annelis nggak mau nyala. Tuh, benar kan dugaan saya. Dia pasti ngambek!”

“Ya ampun, terus kita mesti gimana nih?”

“Kita mesti melakukan ritual supaya Annelis nggak ngambek!’

“Ritual apa?”

“Ritual Annelis. Gini nih,” Cakra lalu turun dan berjalan ke depan motornya. “Nona Annelis, Lysa ini Cuma teman hamba. Makanya nyala dong! Terima kasih Nona, kecup sayang dari hamba. Mmuaaaaccchh,” Ia kemudian membungkukan badannya dan memberi
semacam penghormatan kepada Annelis.

Saya hanya terpaku. Lebih tepatnya melongo tak percaya. Dasar kelakuan seniman. Senang berimajinasi.

“Ayo giliran kamu sekarang!”

“Jangan bercanda ah kamu! ”

“Saya nggak becanda. Kamu mau ke Rumah Pelangi sambil jalan kaki?” jawabnya dengan
tampang serius.

Akhirnya saya menuruti kata Cakra. Saya turun dari motor dan mulai melakukan Ritual Annelis.

“Jangan lupa kata kunci: Nona Annelis, hamba, dan kecup sayang!”

“Halo Nona Annelis…Hamba, Lysa…hmmm…ayo nyala dong Nona, saya…eh, Hamba janji nggak akan apa-apain pacar Nona…hmm…Kecup sayang dari…dari Lysabrina Alveriza…mmuuaaahh,” ujar saya sambil membungkukan badan.

Cakra kemudian tertawa terbahak-bahak.

“Tuhkaaaaannn, saya dikerjain ya???”

“Hahahahahahahahaha,”

“Gini ya perlakuan kamu sama orang yang baru dikenal?”

“Maaafff……duuuh, saya kan Cuma becanda…lagian kok mau-maunya dikerjain gitu? Salah
gue? Salah temen-temen gue? Hahahaha…”

“Siaaaal!”

“Ayo ah kita berangkat, cukup becandanya.”

“Grrr…..Awas aja pembalasan saya nanti!”

***

Rumah Pelangi adalah sebuah LSM yang memfokuskan kegiatannya pada para korban KDRT. Rumah Pelangi merupakan tempat mengadu, berbagi, dan berlindung bagi para perempuan dan anak-anak yang mengalami KDRT. Di sini juga terdapat healing process bagi mereka yang mengalami trauma pasca KDRT. Setiap satu bulan sekali, Rumah Pelangi mengadakan gathering. Selain sesi sharing, gathering ini juga biasanya dimeriahkan oleh pameran dan pertunjukkan seni.

“Pamerannya macem-macem…ada pameran makanan, handycraft, macem-macem deh. Biasanya yang bikin anggota LSM. Yang beli juga mereka-mereka lagi. Meskipun Rumah Pelangi tergolong LSM kecil, tapi perkembangannya sangat masif. Bahkan Mbak Lastri pernah mengundang Menteri Pemberdayaan Wanita ke gathering lho, ”papar Cakra.

“Wow…! Mbak Lastri pemilik LSM ini?”

“Ya. Nanti saya kenalin. Kamu pasti suka ngobrol sama dia. Orangnya asyik dan inspiring,”

“Kamu kok tau banyak soal Rumah Pelangi? Kamu aktivis disini juga? Jujur, saya baru tau ada tempat seperti ini di Bandung.”

“Nggak, saya bukan aktivis Rumah Pelangi kok. Saya juga tau tempat ini dari seorang teman. Kebetulan dia pernah jadi aktivis di sini.”

“Oh memang sekarang teman kamu kemana?”

“Dia sudah pindah ke luar kota. Eh, itu Mbak Lastri. Kita kesana yuk!” kata Cakra seraya menghampiri Mbak Lastri yang sedang sibuk mendekorasi ruangan. Mbak Lastri adalah seorang wanita berusia sekitar akhir 20-an. Wajahnya ayu, rambutnya tergerai lurus sebahu, kulitnya kuning langsat, tubuhnya sintal, fashionable, dan terlihat sangat well educated. Jika bertemu Mbak Lastri di tempat lain, saya mungkin akan mengira ia seorang CEO di sebuah perusahaan besar dengan gaji puluhan juta rupiah. Bukan seorang aktivis di sebuah LSM kecil seperti ini.

“Mbak Lastri, apa kabar? ”

“Eh Cakra…sudah lama ya nggak ketemu. Baik banget, kamu sendiri gimana?”

“Baik juga…Mbak, kenalin ini temen saya, Lysa.”

Saya pun mengulurkan tangan sambil memperkenalkan diri.

“Lysa,”

Bukannya membalas uluran tangan saya, Mbak Lastri malah terpaku. Dia mengamati saya dari ujung kepala sampai ujung kaki.

“Ada apa Mbak?” Tanya saya hati-hati.

“Eh, maaf...Nggak kenapa-kenapa. Halo Lysa, saya Lastri. Salam kenal ya…kamu teman sekampus Cakra?” kata Mbak Lastri sambil membalas uluran tangan saya.

“Bukan Mbak, saya kuliah di Fakultas Hukum.”

“Lysa, kalau kamu ingin tau seputar KDRT atau hak perempuan, bisa Tanya-tanya ke Mbak Lastri lho…” terang Cakra.

“Kamu tertarik juga dengan isu KDRT, Lysa?”

“Ya, Mbak. Tapi saya masih awam. Nggak tau apa-apa soal hak perempuan, isu KDRT, dan sebagainya.”

“Ya udah, kalau kamu mau diskusi mengenai hal itu, langsung aja datang kesini…nanti kita bisa sharing. Kalau kamu mau aktif di Rumah Pelangi juga boleh banget…” kata Mbak Lastri sambil tersenyum ramah.

“Makasih, Mbak. Dengan senang hati,” jawab saya sambil membalas senyuman Mbak Lastri.

“Kalian mau ikut gathering hari ini kan?” Tanya Mbak Lastri.

“Iya, Mbak. Ohya, gimana keadaan Bu Ratna?” jawab Cakra.

“Bu Ratna baik…Lukanya udah sembuh. Bahkan beliau bikin kue kering untuk dipamerkan hari ini. Galih juga baik-baik aja. Tapi Jaka masih belum mau bicara sama orang lain. Dia suka sekali menyendiri. Takut bertemu dengan orang lain. Jaka juga dipukuli oleh ayahnya, makanya dia terlihat sangat trauma. Saya dan pengurus lain juga sudah melakukan berbagai healing. Kami juga sudah konsultasi dengan psikolog anak mengenai masalah ini. Trauma pasca KDRT memang butuh penanganan khusus…Hhh, sekali lagi, saya tak habis pikir dengan para lelaki. Kok mereka tega menyakiti anak dan istrinya sendiri?”

“Terus suaminya sendiri sekarang dimana?” Tanya Cakra lagi.

“Tak lama setelah kamu membawa Bu Ratna kesini, seorang tetangganya datang. Dia berkata kalau suami Bu Ratna marah-marah waktu tau anak dan istrinya kabur…bahkan sampai mengancam akan membunuh siapa saja yang menyembunyikan keberadaan Bu Ratna,”

“Tapi tetangganya nggak bilang kan kalau Bu Ratna disini?”

“Nggak, kok. Setelah itu suami Bu Ratna menghilang. Terakhir saya dapat kabar kalau suaminya dipenjara karena melakukan pencurian,”

“Tindak KDRT-nya sendiri tidak dipidana?”

“Tidak. Bu Ratna sendiri yang meminta kami untuk tidak memperpanjang masalah ini. Padahal, saya dan pengurus Rumah Pelangi akan melaporkan masalah ini ke pihak berwajib. Sama seperti korban KDRT lainnya, kebanyakan mereka takut melaporkan suaminya ke polisi. Mereka takut suaminya akan balas dendam ketika keluar dari penjara. Mereka berani datang ke LSM untuk mengadu saja sudah terbilang bagus. Di luar sana, masih banyak para korban KDRT yang bungkam suara. Mereka lebih baik disiksa ketimbang harus kehilangan cinta dan nafkah. Padahal KDRT adalah tindak pidana. Para korban KDRT juga sebenarnya mendapatkan perlindungan. Inilah yang terus saya sosialisasikan kepada para korban KDRT.”

Mendangar penjelasan Mbak Lastri, pikiran saya langsung melayang-layang. Melesat cepat ke alam bawah sadar. Tiba-tiba penglihatan saya kabur. Dada saya sesak. Kepala saya mendadak pusing. Saya kemudian tak sadarkan diri.

1 comments:

Anonymous said...

Bagus critanya. :)
tp knapa si Lysa pingsan?