Tuesday, September 21, 2010

Lovely Lottie

Rambutnya telah memutih dan kulitnya sudah keriput. Usianya memang tak muda lagi. Tapi sisa-sisa kecantikan masih tergaris di wajahnya. Mengenakan setelan batik berwarna biru, ia tampak sehat dan segar sore itu. Dengan ramah dia menyapa saya dalam bahasa Inggris, “what do you do for study?”. Saya menjawab, “journalism ”. Lalu dia berkata, “great. I was a journalist too”. Ternyata, Ia telah menjadi jurnalis sejak tahun 1954. Dari data yang saya dapat, ia merupakan jurnalis di sebuah koran bernama Indonesian Observer.Koran berbahasa Inggris ini diterbitkan oleh Herawati Diah, istri pemilik perusahaan penerbitan Merdeka Press Muhammad B.M Diah. Ia juga pernah meliput Konferensi Asia-Afrika yang diselenggarakan di Bandung pada tahun 1955.

Percakapan terpaksa harus berakhir karena kami berdua dipanggil ke ruang tengah. Sore itu, Rabu 15 September 2010, saya dan rekan-rekan dari Komunitas Aleut mengadakan pemutaran film dokumenter berjudul “Indonesia Calling”. Selain pemutaran film, kami juga kedatangan tamu dari negeri Wood, Charlotte Maramis. Ya, ia adalah perempuan yang sempat berbincang dengan saya tadi. Tante Lottie-panggilan akrab Charlotte Maramis-tidak datang sendiri. Ia ditemani Mas Votti dan Mbak Ratih Luhur, keduanya adalah orang Indonesia yang tergabung dalam AIA (Australia Indonesia Asociation)-sebuah asosiasi yang misi utamanya adalah menjalin persahabatan antara Australia dan Indonesia. Selain ke Bandung, mereka juga akan mengadakan acara serupa di beberapa kota, yakni Jakarta, Bali, dan Menado.

Tak lama kemudian, film pun diputar. Indonesia Calling merupakan film dokumenter besutan sutradara asal Australia, Joris Ivens. Film yang diproduksi tahun 1946 ini bercerita tentang pergerakan warga Indonesia di Australia untuk mencapai kemerdekaan. Warga Indonesia-yang mayoritas bekerja sebagai buruh pelayaran- meminta pihak Australia memboykot kapal-kapal Belanda yang melewati perairan Australia karena membawa persenjataan untuk melawan Indonesia. Tanpa disangka, Australia menyetujui permintaan tersebut. Selain itu, dukungan juga datang dari para buruh asal India, Malaysia, dan China. Mereka menolak menjadi ABK kapal-kapal milik Belanda. Film berdurasi 22 menit ini menyuguhkan berbagai adegan pergerakan yang dilakukan para buruh Indonesia di Australia.

Setelah selesai menonton, kami mengadakan sharing. Tante Lottie memberikan kesempatan pada kami untuk bertanya seputar film atau kehidupannya bersama sang suami, Anton Maramis. Mungkin tidak banyak yang tahu jika Tante Lottie merupakan istri dari Anton Maramis, salah satu pejuang Indonesia yang juga seorang anggota KNIPpada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Anton Maramis adalah warga Indonesia asli Menado yang bekerja sebagai buruh di perusahaan pelayaran Belanda, KPM. Pada tahun 1942, ia pergi ke Australia bersama kapal Belanda. Di Negara inilah, tepatnya di Sydney, aktivitas politiknya dimulai. Ia tergabung dalam Indonesian Club-sebuah perkumpulan serikat pekerja Indonesia di Australia. Indonesian Club lambat laun menjadi sebuah wadah untuk menyalurkan aspirasi para pejuang kemerdekaan di Australia. Anton Maramis beserta rekan-rekannya mencari dukungan dari warga Australia untuk membantu perjuangan mereka. Di sanalah Anton bertemu dengan Charlotte. Namun aktivitas politiknya di Indonesian Club membuat Anton Maramis dideportasi dari Australia. pasangan ini pun terpaksa harus berpisah. Setahun setelah dideportasi, Anton Maramis kembali ke Australia dan menikahi Charlotte.

Karena anggota Aleut yang lain malu-malu kucing, saya pun memberanikan diri untuk mengajukan pendapat soal film Indonesia Calling. setelah menonton film documenter tersebut, saya baru tahu kalau ternyata warga Indonesia di Australia juga melakukan pergerakan. Selama ini, saya hanya mendengar pergerakan para pribumi yang sekolah di negeri Kincir Angin. Pengetahuan saya tentang masa pergerakan mungkin memang minim, tapi ini kali pertama saya mengetahui kenyataan tersebut. saya kemudian bertanya-tanya: kok jarang sekali ya saya membaca buku sejarah tentang pergerakan warga Indonesia di Australia? kemana saja saya selama ini? Atau memang tak ada yang peduli tentang peristiwa tersebut? Ah, entahlah. Setidaknya saya tahu sekarang. Never too old to know, right?

Sharing dilanjutkan kembali. Meskipun Tante Lottie berbicara dengan bahasa Inggris, untungnya ia mengerti bahasa Indonesia. Jadi kami tak perlu repot-repot membuka kamus untuk menerjemahkan pertanyaan-pertanyaan kami. Sang kordinator, Indra Pratama, lalu mengajukan pertanyaan pada Tante Lottie. Indra menanyakan pengalaman Tante Lottie sewaktu berpapasan muka di depan toilet dengan Chou En- Lai ketika meliput Konferensi Asia Afrika. Dengan semangat Tante Lottie menceritakan pengalamannya. Meskipun usianya sudah menginjak kepala delapan, Tante Lottie tetap ingat kejadian berpuluh-puluh tahun yang lalu. Mata hijaunya berbinar ketika Tante Lottie menceritakan masa indahnya bersama sang suami.

Bang Ridwan kemudian bertanya mengapa Tante Lottie begitu cinta terhadap Indonesia, mengalahkan kecintaan generasi muda Indonesia pada negaranya sendiri. Tante Lottie lalu menceritakan bahwa kecintaannya pada sesama berasal dari nasihat ayahnya. Bahwa kita ini sama, apapun bentuknya, seperti apapun warna kulitnya. Mendengar penjelasannya, kami langsung terharu sekaligus mendapat pencerahan.

Kecintaan Charlotte Maramis pada Indonesia tak terhenti meskipun suaminya telah berpulang ke haribaan. Sampai detik ini, ia masih memiliki kepedulian terhadap Negara kita. Salah satu wujud kepedulian Tante Lottie adalah dengan membangun sekolah bagi orang buta di Menado. Ia juga menulis buku tentang pergerakan yang dilakukan oleh suaminya serta pengalamannya selama hidup di Jakarta. Banyak sekali pengalaman dan pelajaran yang dapat saya ambil dari Tante Lottie. Sedikit banyak pasti bermanfaat bagi saya. khususnya mengenai rasa kecintaan dan bentuk kepedulian terhadap sesama. Thanks for sharing with us, Tante Lottie. Such an honour and how lovely you are =)

Thanks to Mbak Ratih and Mas Votti from AIA. Terima kasih juga untuk Mbak Kuke dan Bang Nara yang sudah mengabadikan momen-momen bersejarah ini.