Sunday, May 30, 2010

Secangkir Kopi Pahit.

secangkir kopi yang kau beri,
jangan kau anggap sebagai obat penangkas kantuk.
mata tak pernah lagi mengantuk
menyaksikan ampas tersisa dalam cangkir.

secangkir kopi yang kau beri,
bukan sogokan yang akan melegakan haus.
karena rasa manisnya tersamar
bahkan tak terasa sama sekali.

jangan kau beri lagi,
secangkir kopi lainnya.
lidah kelu,tenggorokan kering,
karena pahitnya tetap tertinggal.


-untuknya yang "memaksaku" meminum"kopi pahit"

Sunday, May 9, 2010

Dialog Ambang Pintu

“tok tok tok…!!!”

ia membuka pintu.

“Hei kamu, saya pikir siapa. Ayo masuk!”

Dia tak bergeming.

Ia mengernyitkan dahi. Bingung.

“Kamu kenapa? Ada masalah? Ayo masuk, di luar dingin! Nanti kamu sakit,”

Dia kemudian berkata,

“saya mau pamit,”

Ia semakin tak menegrti.

“Pamit? Memang kamu mau pergi kemana?”

“Ke tempat dimana saya tidak bisa mencium wangi kamu lagi. Ke tempat dimana saya bisa bernafas lega. selama ini saya selalu merasa sesak ketika berada di dekat kamu,”

“saya tidak mengerti! Kamu kenapa? Kamu sakit? Ada masalah? Ada yang mengganggu kamu? Bilang sama saya! Ada apa?” kata ia seraya membelai wajah perempuan di depannya.

“Cukup! Berhenti bersikap baik pada saya!” seru dia setengah berteriak.

Ia kaget. Ia melepaskan tangannya dari wajah itu.

Keduanya saling memandang.

“sikap baik kamu hanya akan menyulitkan saya…Ah, saya buang-buang waktu di sini. saya harus pergi,” ujar dia sembari beranjak meninggalkan tempat itu.

“sikap baik saya yang mana yang menyulitkan kamu?”

Dia berhenti. Berbalik arah dan menatap wajah ia lekat-lekat.

“Kamu tahu sendiri jawabannya,”

“saya tidak tahu…”

“kamu tahu!”

“saya tidak tahu!”

“Kamu seharusnya tahu!”

“Bagaimana saya bisa tahu kalau kamu tidak pernah memberi tahu?”

“Bagaimana saya bisa memberi tahu kalau kamu tidak pernah memberi saya kesempatan untuk memberi tahu?”

“Kok jadi berputar-putar sih? Ada apa sih ini sebenarnya? maksud kamu mau pergi itu kenapa? memang ada yang salah dengan saya? Kalau kamu keberatan dengan sikap saya selama ini, fine! Tapi jelaskan dulu kenapa kamu merasa seperti itu…saya, saya tidak paham… “

“…”

“…”

Dia menghela nafas. Tak lama kemudian dia berkata,

” Kamu egois. Kamu ingin saya selalu ada di sini. Menjadi penyemangat ketika kamu jatuh. Menjadi sandaran ketika kamu tidur…Tapi tidak pernah ada sedikitpun ruang untuk saya di sana. Hati dan pikiranmu hanya untuk perempuan yang menjadi obsesimu itu. Tak pernah ada saya di sana. Tiap sentuhan dan pelukan yang kamu beri, apa artinya? Tidak ada, kan? Demi tuhan, saya bukan robot. Saya masih punya perasaan, saya masih perempuan biasa. “

“Tapi…” belum sempat ia melanjutkan pembicaraanya, dia telah memotong.

“Saya belum selesai bicara, tolong jangan potong kalimat saya! Hhh… Pasti kamu akan berkata;’lalu kenapa kamu mau? saya tidak pernah memaksa kamu,’…Ya, itu juga yang menjadi pertanyaan saya selama kita bersama. Katakanlah, kepedulian yang terlampau besarlah yang membuat saya terus bertahan di sini. Lalu kemudian saya sadar. Untuk apa saya tetap disini, bersikeras untuk sesuatu yang tak mungkin saya dapatkan? Saya tidak pernah menyesal, sungguh. Saya anggap itu sebagai bentuk kepedulian saya, wujud nyata sebagai makhluk sosial. Sisanya, saya memilih untuk tidak terlibat dalam hidup kamu lagi. Biar tak ada lagi sakit. Biar tak ada lagi beban. Kamu pun bebas, terlepas. “

Dia memeluk ia erat.

“Saya tidak menginginkan apapun, sungguh. Bahkan dalam kasus ini, keinginan saya sudah tak penting lagi. Tapi jika kamu masih memiliki sedikit penghargaan pada perempuan ini, tolong hargai sikap saya. Jangan hubungi saya lagi, terima kasih.” Ujarnya sambil meninggalkan kos-kosan lelaki itu.

Ia hanya terpaku di ambang pintu kamarnya. Tak tahu mesti berbuat apa.

Tuesday, May 4, 2010

Cerita-cerita : Memori Altar

Bangunan ini begitu megah dan sakral. Jendelanya tinggi, dilapisi kepingan mozaik yang memantulkan warna indah. Di dalamnya, puluhan bangku yang terbuat dari kayu Mahoni berderet rapi. Bangku-bangku tersebut menghadap ke arah yang sama; patung sang juru selamat yang terpasung.

Tempat ini semakin cantik dengan dekorasi mawar putih dan hiasan pita berwarna biru di sekelilingnya. Karpet dengan warna senada terhampar dari pintu masuk sampai depan altar. Sepertinya ia tak sabar ingin diinjak sang mempelai yang tak lama lagi memasuki ruangan ini.

Aku berdiri di depan altar. Berdecak kagum dengan apa yang ku lihat. Sempurna. Aku jadi ingat tatapan tak percayamu ketika aku bisa menyewa katedral ini sebagai tempat pemberkatan pernikahan kita.

“Kamu serius? Sekarang kan Bulan Desember, biasanya Katedral itu tidak menerima acara pemberkatan pernikahan!”

“No, I dont. Nih, lihat buktinya…” jawabku seraya menyerahkan selembar kertas padamu. Kamu membacanya keras-keras.

” pernikahan atas nama Mario Wijaya dan Catherine Natasha. Katedral Santa Petrus, 18 Desember… I cant believe it!”

“You have to…”

“Rio…How come? Katedral itu selalu menjadi tempat impian menikahku sedari kecil…dan 18 Desember? aku akan menikah di hari ulang tahunku sendiri? For Christ’s shake…Sayang, aku…aku benar-benar speechless… “

“I will do everything for you, darling…”

Aku berjalan mengitari ruangan. Masih ada waktu setengah jam lagi sebelum pemberkatan dilaksanakan. Tamu pun belum berdatangan. Catherine, apa yang kamu pikirkan ya sekarang? Apa kamu sama gugupnya seperti aku? Huh, sungguh aku tak sabar ingin melihatmu dengan gaun pengantin rancangan desainer favoritmu itu. Sungguh aku tak sabar menyematkan cincin di jari manismu. Sungguh aku ingin segera mengumumkan pada dunia kalau kamu adalah istriku. Milikku.

Pandanganku kemudian tertuju ke pojok ruangan. Di sana terletak sebuah piano tua berwarna hitam. Setelah pemberkatan, aku akan memberikan kejutan untukmu. Aku akan bernyanyi sambil memainkan tuts-tuts piano untukmu. Ya, ya, ya. Mungkin ide ini terlihat konyol. Apalagi kamu tahu suara dan kemampuan bermain pianoku di bawah rata-rata. Apalagi jika dibandingkan dengan kemampuanmu. Tapi hari ini aku akan buktikan. Demi kamu, demi pernikahan kita. Tenang, aku tidak akan membuat tamu undangan kecewa. Kamu tak tahu kan kalau diam-diam aku les piano dan les vokal demi kesuksesan penampilanku nanti?

Kamu tidak pernah menyangka kan kalau aku yang akan menjadi pendampingmu? Pada awalnya juga aku berpikir demikian. Tapi bukan Mario namanya kalau tidak bisa mendapatkan yang ia inginkan. Prinsipku, tak ada yang tak mungkin dalam hidup ini. Termasuk untuk mendapatkan hatimu?

“Sinting kamu Mario!”

“Orang jatuh cinta kok dibilang sinting? Apa salah saya cinta sama kamu?”

“Tapi saya sudah punya tunangan! Saya sudah mau jadi istri orang…Kok kamu nekat banget sih???”

“Tapi belum kan? Selama belum ada pemberkatan, berarti saya masih bisa mendapatkan kamu!”

“Kamu gila, Mario! Kayak nggak ada perempuan lain aja di dunia ini…”

“Memang nggak ada. Saya yakin kamu adalah perempuan yang tepat untuk saya. Saya tahu itu sejak pertama kali bertemu kamu. Yang penting kan saya usaha dulu?”

“…”

Tentu kita tahu akhir ceritanya kan, Cathy? Akhirnya saya bisa mendapatkan kamu. Tidak gampang. Susah sekali malah. Apalagi saya harus menyusun strategi agar tidak seperti penghancur hubunganmu dengan mantan tunanganmu itu. And i won the battle. Hahahaha. Ini saja sudah membuktikan bahwa mantan tunanganmu itu tak pantas menjadi pendamping hidupmu. Kalau memang dia lelaki tulen, harusnya ia juga berusaha mempertahankanmu kan?

kreeeeeeeekkkk……

Aku menoleh ke arah pintu. Seorang perempuan paruh baya muncul dari luar ruangan. Ternyata itu ibumu. Ibumu cantik sekali. Mirip sepertimu. Aku jadi ingat bagaimana usahaku untuk mendapatkan hati ibumu. Beliau adalah satu-satunya orang yang menentang hubungan kita. Apalagi ibumu kadung simpatik dengan mantan tunanganmu itu. Tapi sepeti yang aku bilang, aku selalu bisa mendapatkan yang aku inginkan. Perihal meluluhkan hati ibumu sih kecil. Hahahhaha.

Ibumu berjalan medekatiku. Nafasnya memburu. Jalannya tergesa-gesa. Begitu sampai di hadapanku, ibumu langsung memelukku erat.

“Ada apa bu?” tiba-tiba perasaanku tak enak.

“…”

“…”

“Nak….Nak…Catherine dan ayahnya mengalami kecelakaan…kedua nyawanya tak tertolong lagi…” ujar ibumu sambil terisak.

Kemudian semua mendadak oleng. gelap. dan aku tak sadarkan diri.

Laila, Gadis Kecil Berambut Ijuk

Laila, gadis kecil berambut ijuk.
umurnya kurang lebih delapan tahun.
ia tak bersekolah,
” tak punya biaya,” keluhnya.
ayahnya kuli, ibunya buruh cuci.
jangankan sekolah,bisa makan saja sudah untung.

Laila, gadis kecil berambut ijuk.
umurnya kurang lebih delapan tahun.
sehari-hari bekerja demi membantu orang tua.
berdendang di atas gerbong kereta.
menyanyi lagu dangdut dengan tape butut.
suara cemprengnya menyeruak di sela kerumunan penumpang.

Laila, gadis kecil berambut ijuk.
umurnya kurang lebih delapan tahun.
hasil mengamen tak lantas menjadi miliknya.
ia mesti berbagi dengan si punya tape,
“uang sewa tape,” begitu katanya.
ia mesti membayar preman yang memalaknya.
kadang ia hanya membawa pulang uang receh.

Laila, gadis kecil berambut ijuk
umurnya kurang lebih delapan tahun.
kadang ia cemburu pada anak sebayanya.
memakai seragam, bermain sambil bercanda di pekarangan sekolah,
memakan es krim, membeli mainan baru…
semua keriaan masa kanak-kanak.

Laila, gadis kecil berambut ijuk
umurnya kurang lebih delapan tahun.
sayang ia tak bisa memilih,
terlalu takut untuk berontak,
tak mengelak, tak menolak.
“ya mungkin sudah nasib,”

Sajak-sajak: Mengelilingi Dunia Mu

aku ingin melihat kepingan mozaik yang tersusun indah di katedral-katedral Eropa.

aku ingin menyentuh lembut pasirmu, hei gurun-gurun di Timur Tengah.

aku ingin menyapa eksotika alam Afrika.

aku ingin bercengkrama dengan rekan satu ras di benua Asia.

aku ingin mengelilingi dunia Mu, tuhan.

Celoteh Busuk : Nyaman

Mungkin saya memang tidak penuh pesona seperti orang-orang yang pernah hadir di kehidupan kamu sebelumnya. Mungkin saya tidak sehebat orang-orang yang menjadi idolamu. Tapi saya menawarkan ini untukmu : rasa nyaman. sehingga kau tak perlu menjadi orang lain.

Sunday, April 25, 2010

Dan Kamu Benar

Dan kamu benar,
ternyata aku rindu ocehan-ocehan yang tak pernah berhenti mengalir dari bibirmu.

dan kamu benar,
ternyata aku candu harum tubuhmu.
harum yang membuat nyaman sekaligus membangkitkan imaji liarku.

dan kamu benar,
ternyata aku rindu gemericing gelang kakimu ketika kau melenggang masuk ke rumahku.

dan kamu benar,
ternyata pondasi logika yang sengaja kubangun rubuh oleh perhatian tulusmu

dan kamu benar,
ternyata aku terlalu picik, terlampau bodoh,
karena menampik semua pertanda.

dan kamu benar,
ternyata aku jatuh cinta padamu.

dan kamu benar,
ternyata aku sudah terlambat.


21 april 2010, di dalam shuttle bus menuju Jakarta.

Antara Logika dan Rasa

Terkadang kita
Terlalu bersikeras
Tak pakai perasaan
Slalu berpikir logis

Terkadang kita
Terlalu terhanyut
Tak mau analisis
Slalu gunakan rasa

*mengapa kita
Tak seimbangkan saja?

Antara logika dan rasa
Mestinya seirama
Hingga kita bisa menilai
Dari berbagai sisi

ironisme

Kau adalah sosok terangkuh
Tak pernah mau akui kesalahan
Kau adalah sosok terpicik
Tak pernah mau pedulikan

Sungguh ironis,
Dibalik sikap manis

Memang tak kasat mata
Semua yang kau lakukan
Tapi pasti kau ingat
Tak kan mungkin terlupa

Jangan pernah mengira
Kau kan terbebas
Kau hanya menunggu waktu
Sebelum akhirnya
Kau terpuruk

absurd

Bergumul dengan rasa
Begitu dekat, tanpa sekat
Tapi terasing
Seperti tak pernah terwujud
Atau memang tak punya bentuk?

AH!

saya jengah,
ia amarah,
semua lengah,
tak ada jalan tengah!
ah!

kisah-kisah,
tak berarah,
enggan merekah
ah!

dulu desah,
kini resah
kita kalah
semua susah
ah!

Laila, Gadis kecil berambut ijuk

Laila, gadis kecil berambut ijuk.
umurnya kurang lebih delapan tahun.
ia tak bersekolah,
" tak punya biaya," keluhnya.
ayahnya kuli, ibunya buruh cuci.
jangankan sekolah,bisa makan saja sudah untung.

Laila, gadis kecil berambut ijuk.
umurnya kurang lebih delapan tahun.
sehari-hari bekerja demi membantu orang tua.
berdendang di atas gerbong kereta.
menyanyi lagu dangdut dengan tape butut.
suara cemprengnya menyeruak di sela kerumunan penumpang.

Laila, gadis kecil berambut ijuk.
umurnya kurang lebih delapan tahun.
hasil mengamen tak lantas menjadi miliknya.
ia mesti berbagi dengan si punya tape,
"uang sewa tape," begitu katanya.
ia mesti membayar preman yang memalaknya.
kadang ia hanya membawa pulang uang receh.

Laila, gadis kecil berambut ijuk
umurnya kurang lebih delapan tahun.
kadang ia cemburu pada anak sebayanya.
memakai seragam, bermain sambil bercanda di pekarangan sekolah,
memakan es krim, membeli mainan baru...
semua keriaan masa kanak-kanak.

Laila, gadis kecil berambut ijuk
umurnya kurang lebih delapan tahun.
sayang ia tak bisa memilih,
terlalu takut untuk berontak,
tak mengelak, tak menolak.
"ya mungkin sudah nasib,"

NI Hou Ma, Petjinan Bandung?

Minggu (4/4) lalu, Komunitas Aleut kembali mengadakan tur jalan kaki (ngaleut) untuk menyingkap sisi lain sejarah Kota Bandung. Tema ngaleut kali ini adalah “Menelusuri Kawasan Pecinan”. Tema yang menarik membuat orang penasaran. Maka tak heran jika peserta yang mengikuti kegiatan tersebut cukup banyak. Ada sekitar 30 orang yang menjadi peserta tur, dari mulai mahasiswa, karyawan, guru, wartawan, bahkan sampai murid SMP.

Pukul 07.30 para peserta berkumpul di depan Gedung Merdeka jdi alan Asia Afrika. Sambil menunggu peserta lain datang, mereka pun melakukan sesi perkenalan. Setelah semua peserta berkumpul, Bang Ridwan (selanjutnya disebut BR) memberikan arahan singkat mengenai rute plesiran. Ia juga menjelaskan sejarah kedatangan etnis Tionghoa di Paris van Java.

BR memaparkan bahwa ada dua versi sejarah yang menceritakan kedatangan etnis Tionghoa di Kota Bandung. Pertama, ketika Deandles membuat post weg di Bandung. Deandles mendatangkan etnis Tionghoa dari Cirebon dan memperkerjakan mereka sebagai tukang kayu di sini. Versi kedua menjelaskan bahwa warga Tionghoa yang berada di kota kembang dulunya adalah korban Perang Dipenogoro. Mereka yang merasa terancam keselamatannya sengaja pindah ke Bandung demi mendapatkan hidup yang lebih aman dan nyaman. Saya sendiri tidak tahu versi sejarah mana yang mendekati kebenaran. Namun yang pasti, warga etnis Tionghoa sudah hidup berdampingan dengan warga Bandung asli sejak sekian lama.

BR kemudian menjelaskan bahwa Pecinan yang ada di Kota Bandung memiliki keunikan tersendiri dibandingkan pecinan di kota lain. Pecinan Bandung merupakan satu-satunya perkampungan China di Indonesia yang tidak dibatasi oleh tembok. Biasanya, perkampungan China di Indonesia selalu dibatasi oleh tembok besar sehingga ada batasan yang jelas antara pemukiman pribumi dan pemukiman etnis Tionghoa. Ini merupakan kebijakan yang dibuat pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1826. Kebijakan itu menyatakan bahwa setiap etnik yang ada di satu kota harus disatukan dalam sebuah wilayah. Selain tidak ditembok, warga Tionghoa di Bandung pada zaman itu juga tidak harus memiliki surat izin ketika keluar dari perkampungan.

Setelah diberi uraian singkat mengenai asal mula kedatangan etnis TionghoA di Kota Bandung, para pegiat Aleut kemudian menelusuri jalan Asia Afrika. Mereka sempat berhenti di sebuah tempat di dekat kantor Pos (saya lupa nama jalannya). Di tempat itu terdapat sebuah lapangan dan beberapa garasi tua. BR megatakan bahwa pada saat pembuatan post weg, garasi ini dijadikan pos pergantian transportasi-yang ketika itu menggunakan kuda. Pos garasi ini bukan satu-satunya tempat pergantian transportasi. Pos garasi tersebut menyebar sepanjang rute pos weg. Jarak antara satu pos dengan pos lainnya sekitar 15 KM. Di sekitar pos juga selalu dibangun instal air dan penginapan (pasanggrahan) untuk peristirahatan pemerintah Hindia Belanda.

Setelah mengamati pos garasi tua, para pegiat pun melanjutkan perjalanan ke arah jalan Alkateri. BR kemudian menghentikan langkahnya di depan sebuah toko tua bernama Dezon NV. Dezon (dalam bahasa Belanda berarti Matahari) merupakan toko milik seorang berkebangsaan Jepang. Bila dilihat dari arsitekturnya yang bergaya art deco geometri, toko ini di bangun sekitar tahun 1925. Toko ini sudah berdiri sebelum Jepang menduduki nusantara. Konon kabarnya, toko Dezon NV berisi mata-mata dari Jepang. Entah benar atau tidak.

Para pegiat kemudian memasuki jalan Alkateri. Jalan ini diambil dari nama tuan tanah berkebangsaan Arab yang hidup di awal abad 20-an. Saya sendiri agak heran mengapa di kawasan pecinan terdapat sebuah jalan yang namanya so Arabic. Seingat saya, BR menjelaskan tentang hal ini. Tapi saya tidak sedang memerhatikan jadi ada beberapa bagian sejarah yang terlewat.

Di jalan Alkateri terdapat sebuah gang kecil bernama Gang Al Jabri. Dulu, gang ini merupakan pusat penjualan Opium di Kota Bandung. Sekarang Gang Al Jabri menjadi kios barang antik. Sayang hari itu tidak ada satu kios pun yang buka.

Pegiat terus menelusuri Jalan Alkateri. Mereka langsung terpana ketika melihat sebuah kedai kopi kecil bernama “Purnama”. Sebagian besar dari mereka sepertinya baru tahu bahwa di Alkateri terdapat sebuah warung kopi yang sudah berdiri sejak tahun 1929 itu. Warga Tionghoa tempo dulu selalu menyempatkan diri datang ke kedai kopi di waktu-waktu tertentu agar bisa bersosialisasi dengan lingkungan mereka. Inilah yang coba dihadirkan di warung kopi Purnama. Maka tak heran jika di waktu-waktu tertentu, warung ini ramai oleh pengunjung. Sayang para pegiat tidak sempat memasuki warung ini karena hari semakin siang.

Ketika menelusuri Jalan Alkateri, kita akan melihat sebuah gang kecil di samping kiri dan kanan blok (1 blok terdiri dari lima rumah). Gang kecil ini disebut branhang (dari bahasa Belanda yang berarti gang kabakaran). Ketika itu, kebanyakan rumah warga Tionghoa terbuat dari kayu yang rentan terbakar. Oleh karena itu, mereka membuat sebuah gang kecil yang berfungsi sebagai tempat menyelamatkan diri jika terjadi kebakaran. Sayang saat ini branhang tidak lagi berfungsi. Bahkan orang-orang yang tak bertanggung jawab sengaja melebarkan rumahnya sampai batas branghang tersebut.

Selain warung kopi Purnama, ternyata masih banyak objek kuliner yang terdapat di jalan Alkateri, yakni; lotek pincuk Alkateri, Rondo Jahe, serta Cendol Gentong. Sayang para pegiat tidak bisa menikmati panganan itu karena mereka tutup di hari Minggu.

Mereka terus melakukan perjalanan dan akhirnya melewati Pabrik Kopi paling terkenal di Kota Bandung;Kopi Aroma. Lagi-lagi para pegiat hanya bisa gigit jari karena pabrik dan kedai kopinya tutup. Padahal di hari biasa, pemilik Pabrik selalu memberikan kesempatan bagi pengunjung yang ingin melihat proses pembuatan kopi legendaris tersebut.

Pegiat melanjutkan perjalanan. Dari kejauhan, mereka bisa melihat Pasar Baru yang menjulang tinggi. Mereka melewati bangunan tersebut, menyebrang di jembatan penyebrangan, lalu kemudian berjalan lagi. BR menghentikan perjalanan dan memperlihatkan foto-foto zaman dulu. Ia kemudian memperlihatkan foto Pasar Baru zaman dulu. Saya takjub sekali melihat bangunan Pasar Baroe tempo dulu. Menurut saya, bangunan Pasar Baroe tempo dulu lebih bagus dan elegan dibandingkan bangunan yang sekarang.

Ada fakta menarik soal Pasar Baru yang sayang untuk dilewatkan. Pasar Baroe didirikan sekitar tahun 1916. Pasar ini merupakan pindahan dari pasar Ciguriang yang terbakar. Pasar Baroe juga pernah menjadi pasar paling teratur dan terbersih di Hindia Belanda. Wah, kalau dibandingkan dengan pasar baru yang sekarang , rasanya jauh berbeda ya?

Setelah diberi penjelasan seputar Pasar Baru, mereka pun melanjutkan perjalanan. Mereka melewati kios obat-obatan China “Babah Kuya” dan sempat menikmati Es Goyobod Kuno 49. Setelah beristirahat sejenak, mereka pun malanjutkan perjalanan. Panas yang menyengat membuat para pegiat kelelahan. Mereka akhirnya beristirahat lagi sambil menikmati Cakue Osin (berdiri sejak tahun 1920).

Di dekat Cakue Osin terdapat sebuah bioskop tua. Sebenarnya bioskop ini menghadap ke Kebon Jati sehingga para pegiat hanya bisa melihat bagian belakang bangunan tersebut. Bioskop ini dulu bernama Preanger, lalu berubah nama menjadi Luxor, sebelum akhirnya berganti nama menjadi Roxy. Pada tahun 1926, bioskop tersebut menayangkan film berbicara untuk pertama kalinya. Saat ini, bioskop tersebut telah beralihfungsi menjadi sebuah kantor asuransi.

Hari semakin siang dan udara Kota Bandung semakin panas. Para pegiat Aleut kembali melanjutkan perjalanan. Mereka kemudian menyusuri jalan Kebon Jati. Di sana, mereka melihat Hotel Surabaya (berdiri sejak tahun 1886) yang tengah dibangun bagian belakangnya. Mereka kemudian berjalan ke arah Gardujati dan memasuki kawasan lokalisasi terkenal di Bnadung;Saritem.

Setelah berjalan menelusuri Saritem, mereka pun sampai di jalan Kelenteng. Mereka takjub ketika melihat sebuah kelenteng dengan ornamen dan warna khas etnis Tionghoa berdiri tegak dan kokoh. Kelenteng ini bernama Kelenteng Satya Budhi. Kelenteng ini sudah berdiri sejak tahun 1865. Semula kelenteng ini bernama Kelenteng Istana Para Dewa (Hiop). Pada tahun 1885, kelenteng ini berganti nama menjadi Than Ki Ong.

Di sebelah Kelenteng Satya Budi, terdapat sebuah Vihara bernama Budha Gaya. Dulu, sebelum Konghucu diakui, warga Tionghoa menggunakan vihara sebagai “kamuflase” peribadatan mereka. Biasanya warga Konghucu beribadat di dalam vihara supaya aman dan tidak diketahui oleh pemerintah. Setelah Konghucu diperbolehkan, maka vihara itu pun membuat bangunan baru.

Sebagian dari pegiat Aleut memasuki kelenteng Satya Budhi. Kebanyakan dari mereka baru pertama kali masuk ke kelenteng. Di sana mereka memerhatikan etnis Tionghoa yang sedang beribadah, sekaligus mengabadikan momen tersebut dalam sebuah gambar.

Kelenteng Satya Budhi merupakan tempat terakhir dari plesir edisi pecinan. Meskipun lelah terlihat dari wajah mereka, tapi hal itu terbayar oleh pengetahuan serta engalaman mengesankan yang mereka dapatkan melalui ngaleut ini. Sampai jumpa lagi di plesir berikutnya! xie-xie…

Friday, April 2, 2010

Simpanan

“Kamu sinting, Lena!”

“Lebih baik aku dibilang sinting daripada tak jujur pada diri sendiri,”

“ Aku masih tak habis pikir. Kenapa kamu memilih bersamanya?”

“Aku mencintainya,”

“Ok, let me break it down to you. You gave him oh-so-called great sex and he gave you those of branded stuffs. Then you called it, what, love??? Oh come on… ”

“ Don’t start darling. You don’t know anything…”

“ Tapi kenapa harus dengan lelaki seperti itu? Kalau tujuan kamu ingin mendapat hidup yang lebih baik, aku sanggup melakukan itu!”

“ Kenapa sih kamu terus mencampuri urusanku??? We’re over, remember?”

“ Tapi aku masih peduli sama kamu! Believe me, you deserve better!”

“ Kalau kamu peduli, kamu tidak akan berpikiran dangkal seperti mereka! Kamu tidak akan menganggap hubunganku dengannya hanya berlandaskan materi dan seks. You know me, for god’s sake! ”

“ Oke, kamu mencintainya. Mungkin juga dia. Tapi dia beristri! Bahkan anak terbesarnya seusia denganmu!!! Kamu…dimana otakmu Lena? Kamu tidak kasihan pada keluarganya? Apa kata ibumu nanti kalau tahu anaknya…”

"Sejak kapan kamu peduli dengan norma-norma? BUkannya kamu selalu bilang kalau cinta itu bisa datang kapan saja, dimana saja, dan dengan siapa saja, sekalipun harus membentur norma-norma?Ah, Cukup! I can’t stand with this anymore. Sejak kapan aku punya otak kalau soal percintaan??? Bahkan aku sudah gila ketika memutuskan berpacaran denganmu, kan? Ibuku mungkin akan sekarat jika tahu akau berpacaran dengan Mas Danu. Tapi ibuku bisa mati kalau tahu aku pernah berpacaran denganmu! ”

“…”

“Dan satu lagi, having sex with a guy 1000 times better than having sex with a girl, Marina…”

si kereta marjinal

Si kereta marjinal,
Bukan sekedar tukang antar
Setiap gerbongnya menetas cerita
Di balik bordesnya ada kehidupan
Ini bukan sembarang kereta,
Ini kereta paling istimewa

Wajah-wajah lelah penuh peluh
Berdesakan berebut oksigen
Bau ketiak campur parfum murahan menyeruak
Asap rokok tak mau kompromi
Mengepul di sana- sini

Orang lalu lalang, teriak-teriak
Menjajakan apa saja,
Asal bisa bawa pulang uang;
“Lem tikus…lem tikus…
minum…minum…minum…
tahu…tahu…tahunya mas…
jeruk, jeruk lima ribu saja…
senter, alat tulis, jam tangan,
pisau dapur,…#%$”

Dari kejauhan terdengar musik dangdut
Ada yang bernyanyi dengan nada sumbang
Kemudian meminta balas kasih,
Tak apa, asal bisa makan, katanya

Kondektur tiba memeriksa karcis,
Seribu rupiah saja harganya,
Itupun banyak yang tak beli
Malah memilih berdiri di atas gerbong


Di dalam sana, tiap orang saling curiga
Barang bawaan dipegang erat-erat
Takut penumpang sebelah copet
Yang siap mengambil dompet

Si kereta marjinal,
Meski renta tak pernah mati
Meski buruk rupa tak pernah dicela
Di dalamnya ada potret realita
Ini bukan sembarang kereta,
Ini kereta paling istimewa.

Thursday, February 18, 2010

Celoteh Busuk: Menyerah Bukan Nama Tengah

seperti ada yang menghalangi tiap kali bergerak. sesuatu yang tak tampak,tapi merusak. tidak.tak bakal saya hentikan pergumulan ini hanya karena itu. sesak pasti selalu ada. tapi tak kan mengurangi niatku untuk meraup oksigen sebanyak mungkin. sungguh aku punya hak atas ini.aku tak akan menyerah.

Celoteh Busuk: :(

sebut saya cengeng.tapi terkadang air mata bisa sangat menenangkan pasang surut hidup.rasa aman yang berkurang tiap harinya.pandangan yang semakin buram. oh saya tak ingin terus berpaku tangan.menantikan diri saya lebur di dalam pusaran waktu. saya hanya ingin kesempatan. ataukah kesempatan juga berbayar kali ini?sungguh saya tak pernah mengharapkan fase yang satu ini. saya selalu beranggapan jika banyak hal yang bisa kita dapatkan tanpa merasa tertekan keadaan. atau ini hanya bentuk penghiburan diri saja?ah!

Wednesday, February 17, 2010

Celoteh Busuk: Teman Bicara

Saatnya berterus terang. Dibalik sikap yang terkesan MANDIRI, saya juga bisa merapuh. Meronta. Mendadak oleng. Terserang rasa yang tidak lazim. Benar,air mata terkadang bisa menenangkan. Tapi apakah itu akan membuat saya tertawa keesokan harinya?

Saya tidak ingin siapa-siapa. Saya bahkan terkadang tidak tahu kenapa saya begitu resah. Kita datang seorang diri, di liang lahat pun begitu.Tapi toh saya makhluk sosial yang kadang tak bisa menjamah semuanya sendiri.

Saya tipe manusia yang tidak bisa bercerita pada sembarang orang. Itu adalah masalah saya. Tapi saya butuh itu, butuh teman bicara. Yang semoga bisa mengerti. yang semoga bisa saling berbagi.

Celoteh Busuk: Teman Bicara

Saatnya berterus terang. Dibalik sikap yang terkesan MANDIRI, saya juga bisa merapuh. Meronta. Mendadak oleng. Terserang rasa yang tidak lazim. Benar,air mata terkadang bisa menenangkan. Tapi apakah itu akan membuat saya tertawa keesokan harinya?

Saya tidak ingin siapa-siapa. Saya bahkan terkadang tidak tahu kenapa saya begitu resah. Kita datang seorang diri, di liang lahat pun begitu.Tapi toh saya makhluk sosial yang kadang tak bisa menjamah semuanya sendiri.

Saya tipe manusia yang tidak bisa bercerita pada sembarang orang. Itu adalah masalah saya. Tapi saya butuh itu, butuh teman bicara. Yang semoga bisa mengerti. yang semoga bisa saling berbagi.

Tuesday, February 9, 2010

Cakra dan Lysa: I Remember (Edisi 2)

Pacar saya selalu bilang, jadi anak kuliahan jangan cuma kupu-kupu alias kuliah-pulang, kuliah-pulang. Dia selalu bilang kalau teori-teori, tugas-tugas, dan nilai-nilai hanya akan membantu kita sebesar dua puluh persen di kehidupan nyata. Selebihnya, nilai IPK tidak akan membantu banyak. Aktif berorganisasi, selalu memperbanyak teman, menambah wawasan di luar mata kuliah, dan terjun ke masyarakat akan membuat mata kita terbuka. Kita akan sadar kalau hidup tak akan terselesaikan hanya dengan nilai akademis sempurna di tangan.

“Percuma nilai IPK kamu 4 tapi tidak tahu cara bekerja sama, tidak punya link, dan tidak tahu seperti apa kondisi masyarakat yang sebenarnya…begitu keluar dari kampus, kamu akan kaget karena ternyata banyak hal berbeda yang tidak kamu pelajari ketika kuliah…” katanya.

“Tapi bukan berarti kamu menyepelekan nilai, Lysa…Seperti yang aku bilang, nilai memang hanya akan membantu kita sebesar 20 persen. Sisanya, kita harus cari di luar kampus.Hmm, katakanlah kamu mau mencari harta karun di hutan. Kamu nggak mau kan masuk hutan tanpa perbekalan sama sekali? Anggaplah 20 persen itu bekal sebelum kamu berusaha mencari sisanya…” lanjutnya.

Kadang saya heran. Tercipta dari apakah pacar saya itu? Di tengah kesibukannya sebagai presiden BEM di Fakultas Ekonomi, anggota aktif UKM sepak bola di kampusnya, belum lagi aktivitasnya di sebuah LSM yang bergerak di bidang lingkungan, oh dan jangan lupa bisnis game online dan warung makan yang ia jalani bersama teman-temannya di Depok sana, Rahyang masih bisa mendapat IPK di atas 3,5! Tahun depan dia akan berangkat ke Jepang selama satu tahun untuk student exchange.

Saya cuma bisa geleng-geleng kepala. Seringnya sih gigit jari dengan semua aktivitas yang dilakukan Rahyang.

“Mumpung masih muda. Ambil kesempatan sebanyak mungkin… ” begitu katanya.

Anyway, apa yang dikatakan Rahyang memang benar. Jangan cuma jadi kupu-kupu. Apalagi kunang-kunang (kuliah-nangkring, kuliah-nangkring). Saya pun mengikuti nasihatnya. Maka, saya pun mulai aktif berorganisasi. Mengikuti kepanitiaan ini-itu. Saya juga terdaftar sebagai anggota aktif forum mahasiswa hukum se-Indonesia. Saya juga mati-matian mempertahankan IPK di atas 3,5. Saya tidak mau kalah dari Rahyang. Saya bangga punya pacar sehebat Rahyang. Dia pun harus bangga punya pacar seperti saya.

Desember, satu tahun yang lalu.

Saya selalu suka bulan Desember. Bukan, bukan karena bulan ini saya berulang tahun (for your information, I was born on May). Banyak hari penting di bulan ini. Dari mulai peringatan hari AIDS, hari anti korupsi, hari ibu, sampai peringatan Hak Asasi Manusia. Biasanya, fakultas saya mengadakan event yang berhubungan dengan hari-hari penting itu. Ya, inilah kesempatan saya untuk ikut andil dalam kegiatan tersebut. Dan kali ini saya menjadi panitia peringatan hari HAM. Saya suka sekali menjadi bagian dari kepanitiaan ini. Selain tujuan acaranya bagus, konten acaranya juga tidak membosankan. Bukan hanya berisi seminar, talkshow, dan diskusi yang bikin kepala mumet karena pelanggaran HAM yang makin sering terjadi di negara ini, melainkan juga berisi hal-hal yang digemari anak muda pada umumnya; ada pertunjukkan musik dari band indie yang sedang populer, musikalisasi puisi, tari-tarian, pertunjukkan teater, lomba fotografi, lomba menulis essay, serta lomba mendesain kaos.

Setelah persiapan selama kurang lebih dua bulan, event peringatan HAM pun digelar pada 10 Desember. Saya masuk divisi marketing yang memang sibuk sebelum hari H. Jadi hari ini, saya lebih banyak menikmati acara ketimbang bekerja. Sambil menunggu acara selanjutnya, saya pun berjalan keluar aula. Saya berjalan ke loby, bermaksud melihat-lihat karya para finalis lomba fotografi yang dipajang di sana.

Ada sepuluh foto yang dipajang di sana. Semuanya mengusung tema yang sama:Hak Asasi Manusia. Lalu sampailah saya pada sebuah foto yang dipajang di paling kiri ruangan. Saya mengamati foto itu dengan seksama.Dari semua foto yang terpajang, saya paling suka foto ini. Sepertinya foto ini paling “bernyawa”. Dalam foto itu terdapat seorang ibu, sepertinya berumur tiga puluhan, beserta dengan dua orang anak lelaki. Si ibu menggendong seorang balita yang tengah menangis. Anak satunya lagi,yang sepertinya berumur tak lebih dari sepuluh tahun, berjalan di sebelah ibunya sambil menguap. Mungkin si anak baru bangun tidur. Dahi si ibu terluka dan mengeluarkan darah. Sepertinya si ibu baru tersungkur atau kejeduk. Entahlah. Pipi kirinya lebam, seperti baru dipukuli.Melihat foto itu, pikiran saya langsung berkelebat tak tentu arah. Mata saya tiba-tiba berkaca-kaca. Dengan mata nanar, saya melihat sebuah kertas kecil yang tertempel di bawah foto tersebut.

Judul: Escape

Karya: Cakrawala Madya Putra

“Wah, ada panitia yang lagi merhatiin foto saya. Lagi dinilai ya Mbak?” tanya sebuah suara di belakang saya.Saya kaget dan buru-buru menghapus air mata yang hampir jatuh ke pipi.

“Sayang jurinya bukan dari panitia Mas, tapi di datangkan langsung dari sekolah fotografi Darwis Triadi…” jelas saya sambil menoleh ke belakang. Saya terpaku ketika melihat sosok orang tersebut. Sepertinya orang ini tak asing. Sepertinya saya pernah melihat orang ini. Tapi dimana ya? Orang di depan saya pun sepertinya sedang mengingat-ingat. Dia mengernyitkan dahi dan menatap wajah saya lekat-lekat.

“Kayaknya saya pernah ketemu Mbak deh…Tapi dimana ya?”

“…”

“…”

Aha!

“Di travel! Novel Little Prince! Ingat?” seru saya sambil setengah berteriak.

“Oh,Iya! Benar! Mbak yang ketemu di travel! Wah, wah, wah…nggak nyangka ya bisa ketemu di sini! Mbak kuliah di Hukum ternyata?”

“Iya! Kebetulan sekali ya Mas…Iya, saya kuliah di sini. Mas sendiri di jurusan apa?”

“Oh, saya sih bukan kuliah di sini…saya kuliah di FSRD, ngambil DKV. Kebetulan saya tau ada lomba fotografi di sini, ya iseng aja ikutan. Kali menang kan lumayan hadiahnya…”

“OH, kamu suka fotografi ya?”

“Ya lumayan, mengisi kekosongan aja sih…”

“Ini…ini karya kamu?”

“Iya. Kenapa? Aneh ya?”

“Nggak, bagus kok. Bernyawa. Saya nggak terlalu ngerti fotografi sih…Tapi kalau saya jadi jurinya, saya pasti milih foto kamu sebagai juaranya.”

“Ah, kamu berlebihan…foto lain lebih bagus-bagus! Oh ya, saya Cakra.” ujar lelaki itu sambil mengulurkan tangannya.

“Saya Lysabrina. Panggil aja Lysa,” jawab saya sambil membalas uluran tangannya.

“…”

“…”

“Eh,kok bisa dapet foto kaya gitu? Ini bukan rekayasa kan? Jangan-jangan kamu bayar orang untuk difoto kayak gitu.”

“Hahahaha, enak aja! Haram hukumnya merekayasa foto. Semua terjadi secara kebetulan. Hmm, tapi saya rasa itu bukan kebetulan juga sih. Saya percaya kalau everything happens for a reason. Saya berada di tempat itu, hari itu, pada jam itu, lalu melihat seorang ibu membawa anak-anaknya dengan keadaan terluka, kemudian memotretnya,apakah itu sebuah kebetulan? Saya rasa tidak…Bahkan, orang yang duduk di sebelah kita ketika naik angkot pun bukan kebetulan. Semua sudah ada yang mengatur… “

“Dan apa kabar dengan pertemuan tidak sengaja kita? Dua kali pula! Apakah itu kebetulan? Saya rasa juga tidak…”

“Hahahaha. Kamu betul. Kenapa dari semua foto yang terpajang,kamu memerhatikan foto saya?”

“Iya, betul! Dan kejadian di travel itu…hahahahaha. Aneh juga ya? Nggak masuk akal!”

“Iya…”

“Eh, eh, kayaknya si MC lagi mengumumkan pemenang lomba deh…”

“Oh ya? Ya udah kita masuk ke dalem aja yuk…”

Kami pun memasuki aula. Memang benar, sang MC sedang membacakan para pemenang lomba.

“Masih ngumumin pemenang desain nih…” seru Cakra.

“Iya. Eh, foto itu, hmmm, ibu itu…dia kenapa luka-luka gitu?”

“Dipukulin suaminya.Dan hari itu dia memutuskan untuk keluar dari rumahnya. Mengakhiri penderitaannya. Makanya saya memberi judul ‘escape’ pada foto tersebut…”

“KDRT…Hhh…ya, tiap perempuan punya hak untuk dihargai. Hak kesetaraan gender…”

“Termasuk HAM juga kan?”

“Ya iya dong…eh, itu, si MC lagi ngumumin pemenang foto…”

“Wah…deg-degan nih saya…”

“Hahahaha…”

Dan juara satu untuk lomba fotografi adalah…Foto dengan judul…wah, pasti kalian udah nggak sabar ya…??? Pemenangnya adalah…Ohya, sebelumnya, pemenang akan mendapatkan hadiah sebesar lima juta rupiah…wah, lumayan banget kan…pemenangnya adalah…foto dengan judul...ESCAPE karya Cakrawala Madya Putra…Tepuk tangan untuk pemenang…dan untuk Cakrawala silakan naik ke atas panggung…

“Wah! Apa kata saya! Kamu menang…Selamat ya…”

“Wow, saya menang!!! Saya naik ke atas panggung dulu ya…Kamu jangan kemana-mana!”

Lelaki bernama Cakra itu pun naik ke atas panggung.

“Lysa,lo kemana aja? Gue cariin dari tadi… Eh anter gue dulu ke rumah makan…” tiba-tiba Tasya, koor Marketing saya, muncul dari arah belakang.

“Hah, ngapain?”

“Iya nih ada sedikit masalah sama rumah makan itu. Waktu kemarin kan di MOU-nya mereka deal buat ngasih makan panitia dan pengisi acara sebanyak 100 dus. Eh nggak taunya cuma dikasih 85 dus! Makanya sekarang mau protes ke rumah makan itu…Ayo cepet, gue udah kesel banget nih…”

“Hmm…ya udah deh yuk…” jawab saya setengah hati. Ah, kenapa sih harus ada masalah di tengah acara begini!Saya pun membuntuti Tasya ke arah parkiran.

Dari kejauhan saya melihat Cakra menerima hadiah dan berfoto bersama.

Tak lama berselang, Cakra turun dari panggung. Ia kemudian berjalan ke tempat ia dan Lysa berdiri tadi. Ia ingin berbagi kebahagiaan dengan perempuan bernama Lysa itu. Namun ketika sampai ke tempat semula, orang yang dicari sudah tidak ada. “Oh, mungkin Lysa sedang ke toilet,” pikir Cakra. Semenit, dua menit, lima menit ia menunggu, tapi Lysa tidak juga kembali ke tempat itu. Ia pun mencari ke seluruh aula.Tapi perempuan itu benar-benar hilang. Entah pergi kemana.