Friday, February 5, 2010

Cakra dan Lysa : I Remember (edisi 1)

September, setahun yang lalu

Saya Lysabrina Alveriza. Usia saya hampir menginjak 20 tahun. Saya mahasiswi fakultas hukum di sebuah universitas negeri di daerah Dipati Ukur, Bandung. Semester ganjil baru saja dimulai. Dosen-dosen pun tak lagi memberikan kesempatan bagi kami untuk berleha-leha. The holiday is over, let’s back to the reality. Let’s face the world with those of assignments, exams, and blablabla. Welcome to the third semester. Some people say, this is the truly hell. Watch out, you’ll be burned!!! (and today I realized that third semester was just gate to the truly hell. Well, the next semester is 1000 times hotter than that)

“Semester satu-dua sih Cuma pemanasan aja. Kalian masih adaptasi dari masa SMA ke masa perkuliahan. Nggak ada apa-apanya itu mah…” begitu kata seorang senior.

Baru beberapa minggu kuliah, kami sudah disuguhi berbagai tugas. Dari mulai melihat dan melaporkan proses persidangan di pengadilan, mempelajari hukum-hukum yang berlaku secara internasional, menganalisis perbedaan hukum syariat islam dengan hukum positif, dan sebagainya.

Tugas pulalah yang menyebabkan saya berada di sini. Di sebuah travel agent. Bukan untuk jalan-jalan. Beberapa jam lagi saya akan pergi ke Jakarta. Saya harus mewawancarai seorang pengacara terkenal di sana. Saya juga harus meninjau sebuah law firm dan menganalisis kinerja perusahaan mereka.

Sama sekali bukan tugas yang menyenangkan. Tapi apa lacur, saya tetap harus melakukan ini. Demi nilai A (atau setidaknya B). Demi IPK. Demi liburan yang sebisa mungkin tak terganggu Semester Pendek. Demi lulus tak lebih dari lima tahun. Demi masa depan gemilang nan cemerlang.

Sialnya lagi, saya harus berangkat seorang diri dari Bandung. Sebenarnya tugas ini dikerjakan secara berkelompok. Setiap kelompok terdiri dari tiga orang. Tapi kedua teman saya tak bisa pergi bersama-sama. Satu orang datang belakangan karena harus menghadiri acara keluarga terlebih dahulu. Seorang lagi sedang pulang kampung ke rumahnya di Jakarta. Jadi kami akan langsung bertemu di sana.

Sambil menunggu mobil datang, saya membunuh waktu dengan membaca buku. Membaca telah menjadi hobi saya sejak kecil. Yes, maybe I’m sort of book worm. Saya membaca segala jenis buku. Dari mulai komik sampai buku filsafat. Dari mulai novel percintaan sampai novel bertemakan perang. Saya termasuk orang yang percaya pada pepatah klise, “buku adalah jendela dunia.” Lewat buku Tetralogi Bumi Manusia saya tahu kehidupan masyarakat Indonesia sebelum merdeka. Lewat buku Jakarta Undercover saya tahu bagaimana realita kehidupan metropolitan. Lewat komik Conan saya tahu bagaimana menyingkap misteri sebuah pembunuhan. Lewat novel Ayat-Ayat CInta saya belajar ketulusan cinta dan keikhlasan. Lewat buku Pengantar Ilmu Hukum saya banyak tahu soal hukum. Se-“kacangan” apapun bukunya, pasti ada pelajaran yang dapat diambil dari buku tersebut. Kita jadi tahu bagaimana membuat buku yang bagus karena sudah ada contoh yang kurang bagus. Hahahaha. Becanda!

Saya mengeluarkan Le Petite Prince dari dalam tas. Buku ini tampak lecek. Sampul plastiknya kusam. Begitu membuka halaman pertama, ada tanda tangan saya yang sudah tak jelas wujudnya di pojok kanan bawah halaman. Adik saya tanpa sengaja pernah menumpahkan susu ke buku tersebut. Alhasil, tanda tangan saya jadi luntur. Buku favorit saya pun jadi kumel. Saya kesal sekali waktu itu. Sampai menangis sejadi-jadinya. Akhirnya ibu membelikan saya buku yang sama. Buku itu sekarang berada di tempat yang aman dan tak kan pernah ketumpahan susu lagi.

Saya suka sekali buku ini. Sudah puluhan kali saya membacanya. Tapi saya tak pernah bosan. Buku ini sudah seperti sahabat saya sendiri. Setiap kali akan berpergian jauh, buku ini selalu menemani. Kadang saya merasa seperti Si Pangeran Kecil yang tinggal sendiri di sebuah planet dan hanya ditemani setangkai bunga mawar. Kadang saya merasa seperti si pilot yang terdampar di padang pasir.

“Mbak, Mbak?” seru sebuah suara. Saya cuek saja. Fokus membaca.

“Mbak, Mbak yang lagi baca buku!” panggil suara itu sekali lagi. Saya menoleh.

“Saya?” jawab saya sambil menunjuk ke diri sendiri.

“Iya, Mbak. Siapa lagi?” Kata lelaki yang duduk tak jauh dari saya. Saya mengedarkan pandangan. Hanya ada lima orang di ruangan ini. Saya, lelaki yang barusan memanggil saya, seorang bapak di seberang saya yang sedang sibuk menelpon, serta sepasang kekasih yang sedang ngobrol sambil cekikikan di pojok sana.

“Mbak lagi baca Little Prince ya?” ujarnya sopan sambil tersenyum. Little Prince merupakan judul versi inggris dari Le Pettite Prince yang dibuat oleh penulis asal Prancis.

“Iya, kenapa emangnya Mas?” tanya saya. Lelaki itu langsung mengangkat buku (saya baru ngeh dia juga sedang membaca buku) yang terletak di pahanya dan memperlihatkan sampul buku tersebut.

FOR GOD’S SAKE, HE ALSO READ LE PETITE PRINCE!!!

Kami saling berpandangan dan kemudian tertawa.

“Kok saya nggak sadar Mas lagi baca buku itu ya?”

“ Mungkin karena bukunya saya lipat. Jadi sampulnya nggak keliatan…”

“Hahaha, bisa jadi. Tapi memang kadang saya cuek dengan keadaan sekitar kalau lagi asyik sendiri. Mas suka buku itu juga?”

“Saya baru baca setengahnya nih. Jadi belum bisa memutuskan saya suka atau nggak sama buku ini. But so far, it’s quite good. Banyak pelajaran yang saya dapet. Kalo Mbak gimana? ”

“Wah kalau saya sih suka banget sama buku ini. Salah satu favorit saya!”

“Pantesan lecek gitu Mbak bukunya. Pasti karena keseringan dibaca ya? Hahahaha ”

“Ya gitu deh. Ditambah saya yang jorok, jadi beginilah keadaannya. Ahahaha,”

“Hahahaha,”

“Mas udah sampe mana bacanya?”

“Saya baru baca sampai ketika si pangeran kecil ketemu raja-raja yang aneh itu,”

“Emang sih aneh. Tapi itu merepresentasikan tipe manusia yang ada di bumi. Hehehehe, ”

“Iya sih,”

Tiba-tiba seorang petugas travel mendekati kami.

“Mas naik yang ke arah Cempaka Putih ya? Mobilnya sudah datang… ” terang petugas tersebut. Lelaki itu pun mengangguk. Memasukkan buku ke dalam tas ranselnya, mengikat rambut sebahunya, kemudian bamgkit dari kursi.

“Mbak saya duluan ya. Mobilnya udah dateng ternyata,”

“Oke. Hati-hati di jalan Mas. Selamat membaca buku Little Prince-nya ya…dijamin nggak akan menyesal! Hehehehe” ujar saya sambil terkekeh.

“Makasih Mbak. Mari,” jawabnya sambil keluar ruangan.

Kelak kami tahu bahwa pertemuan itu bukanlah kebetulan semata.

0 comments: