Friday, February 5, 2010

Tentang Kematian (Mengenang mereka yang pergi lebih dulu)

Meninggal

Wafat

Tewas

Gugur

Mampus

Modar

Mati

M-A-T-I
Kata-kata di atas sungguh menjadi momok bagi kita, manusia. Tak sedikit orang yang menghindari kata itu. Tiap kali mendengar atau mengucapkan kata tersebut, bulu kuduk kita pasti langsung berdiri. Otak kita langsung tertuju pada bayangan-bayangan mengerikan soal kematian. Banyak orang yang takut mati. Deathphobia (tentu saya mengarang bebas istilah ini karena saya tak tahu apa sebutan untuk orang yang parno pada kematian). Sungguh kita tak dapat membayangkan jika sewaktu-waktu nyawa kita diambil dengan cara-cara yang tak dapat diprediksikan, dari mulai cara konvensional (sakit misalnya) sampai cara yang tragis (dibunuh misalnya). Tubuh kita kaku, membiru, dan busuk. Tertimbun tanah merah di dalam lubang yang besarnya hanya 2X1 M. Tak sampai satu tahun, tubuh kita hanya tinggal tulang belulang karena digerogoti rayap dan binatang lain di dalam tanah.

Mungkin semua itu masih bisa ditolerir ketimbang menyadari bahwa ketika meninggal, kita tidak lagi menjadi bagian dari dunia ini. Kita tidak lagi eksis. Kita tidak bisa memeluk orang yang kita sayang. Tidak bisa bercanda dan bergosip dengan teman sejawat. Tidak tahu perkembangan teknologi terbaru. Tidak bisa lagi menonton bola atau menyantap bakso langganan. Semuanya berhenti begitu saja. Skak Mat. Game Over
Dan, yang paling menyakitkan, tentu saja meninggalkan orang yang kita sayang. Jangan pikir mereka saja yang sedih karena kehilangan kita. Kita pun pasti demikian. Betapa miris dan pilunya ketika melihat mereka menangisi jenazah kita. Sedangkan kita tak bisa apa-apa. Mungkin ketika itu kita sudah berada di sebelah Izrail. Tak bisa merasakan apapun karena sifat-sifat kemanusiaan kita telah hilang. Entahlah.

Lalu bagian paling, paling, paling memilukan adalah: KITA AKAN DILUPAKAN. Okelah keluarga akan terus mengingat kita. Mereka akan mengadakan tahlilan. Tujuh harian, empat puluh harian, seratus harian, seribu harian. Mereka juga pasti akan tetap mendoakan. Tapi setelah itu? Mereka tentu harus kembali pada dunia. Pada hidup mereka masing-masing. Toh mereka tak mungkin berkubang di tempat yang sama. Bukankah esensi dari ikhlas adalah merelakan bahwa kita tak lagi menjadi bagian dari hidup mereka? Kita semakin jarang dikunjungi. Mungkin lama-lama mereka hanya akan hadir ke pemakaman kita setahun sekali. Menjelang bulan suci atau ketika Idul Fitri. Sisanya? Masih banyak urusan dunia yang harus mereka kerjakan.

Itulah sebabnya mereka takut mati? Entahlah. Tapi jujur saja, saya adalah salah satu orang yang takut mati. Apalagi mati muda. Kemudian setelah beberapa kali ditinggalkan oleh orang-orang yang saya kenal dan mendengar berita duka dari teman-teman terdekat, saya jadi sadar. Bahwa kematian itu sesuatu yang absah. PASTI. Ketika ruh ditiupkan ke dalam janin ibu, kita semua sudah “menandatangani” kontrak hidup. Pasti di atas materai, karena itulah kita tak mungkin melanggarnya. Pada detik pertama kita lahir ke dunia sambil termehek-mehek, hal yang sudah dipastikan oleh Tuhan adalah waktu kematian kita. Mendahului kontrak hidup lain seperti seberapa besar rezeki kita, siapa pasangan hidup kita, dan sebaik apakah tindak-tanduk kita di dunia.

Kadang saya bertanya-tanya, kenapa sih Tuhan tidak memberi tahu waktu kematian kita? Tapi ternyata Tuhan punya alasan. Supaya kita selalu bersiap-siap dan menabung amal tiap waktu karena kita tidak punya sedikitpun petunjuk kapan giliran kita menghadap Ilahi. Agar kita tahu bahwa tidak ada yang abadi. Agar kita belajar mengikhlaskan sesuatu yang bukan milik kita. Hhh, kematian begitu pasti. Begitu dekat. Kita semua hanyalah waiting list yang menunggu dipanggil oleh-Nya.





Doa dan empati saya selalu untuk teman-teman yang telah lebih dulu pergi (terakhir, tetangga saya yang meninggal hari ini dalam usianya yang masih muda karena kecelakaan), teman-teman terdekat yang kehilangan orang yang mereka kasihi (semangat terus untuk Irfan yang ditinggal mama dan Ibel yang ditinggal Papa), dan mereka-mereka yang merasa kehilangan…

0 comments: