Friday, February 5, 2010

Para Pendekar yang (Tak Lagi )Pesimis

Saya selalu beranggapan jika persahabatan yang terjalin di sekolah menengah hanyalah short-term friendship. Ketika memasuki dunia kampus,apalagi jika tak sejurusan atau tak sekampus,persahabatan itu akan memudar. Rasa seiya sekata itu akan menguap. Wajar saya pikir. Ketika di sekolah menengah,kita pergi kemana-mana bersama. Bahkan ke toilet pun bersama-sama. Begitu kuliah,jangankan kemana-mana bareng,ketemu saja jarang. Maka intensitas memang menjadi dalih yang paling kuat atas melemahnya persahabatan tersebut.

Benarkah ini hanya soal intensitas kebersamaan yang semakin berkurang? Ataukah ada kenyataan lain? Yang paling nyata adalah adanya sahabat-sahabat baru di tempat baru sehingga kita sedikit melupakan sang kawan lama. Saya rasa banyak dari kita yang mengangguk setuju. Tak masalah saya pikir. Toh faktanya merekalah-sahabat baru itulah- yang paling sering bersama kita. Paling tahu aktivitas dan kehidupan baru kita.

Berbicara mengenai sahabat sewaktu sekolah menengah, saya jadi ingin berbagi soal ini.


Soal mereka.

Saya bertemu mereka ketika duduk di bangku SMA. Sebuah hubungan yang awalnya terjalin karena merasa senasib. Termarjinalkan. Ya,seperti yang kita tahu,remaja ketika itu hanya mau berdekatan dengan mereka yang cantik atau ganteng,kaya,dan populer. Kelak remaja-remaja itu sadar bahwa ‘persahabatan’ macam itu hanya ilusi,palsu,dan sesaat. Hey, bukan berarti kami secupu dan seterbelakang itu. Kami potensial. Hanya ketika itu-kalau kata pepatah-kami bagai mutiara yang masih tertutup dalam lumpur. Saat itu,karena begitu labilnya,kami menamai diri PENDEKAR KAUM PESIMIS. Nama itu diambil dari pernyataan seorang filsuf yang beraliran pesimistis. Namanya Walt Whiltman.

Awalnya,saya pikir persahabatan ini akan sama saja seperti persahabatan masa remaja lainnya. Kemana-mana bareng. Bahkan kalau bisa gaya dan cara berpakaian harus sama. SERAGAM.SERUPA. Oh dan jangan lupa dengan istilah ‘musuh satu orang berarti musuh semua’. Blablabla… Saya percaya dengan pernyataan yang mengatakan bahwa kedekatan seseorang dengan yang lainnya bermula dari kesamaan yang mereka miliki. Tapi bukan berarti kita harus serupa dengan sahabat kita kan?

Beruntunglah saya bertemu mereka. Kami yang luar biasa berbeda satu dengan yang lainnya. Dari mulai cara berpakaian sampai selera musik berbeda. Awalnya memang terasa janggal. Tapi kami berusaha untuk tidak membahas perbedaan itu. Di situlah kami berusaha mengerti. Berusaha memahami dan menghargai. Kelak saya sadar bahwa mungkin inilah bentuk kasih sayang kami. Dengan tidak menghilangkan perbedaan itu. Perbedaan yang mencirikan kami tetaplah seorang individu,meskipun hidup bersosialisasi. Tak jarang kami saling mentransfer perbedaan-perbedaan itu sebagai bukti penghargaan kami. Itung-itung menambah ilmu baru. Tak ada salahnya juga kan?

Lalu apa yang membuat kami cocok selain sama-sama hobi makan bakso dan nyanyi-nyanyi? Hmm,mungkin karena kami suka tertawa. Kami adalah tipe humoris yang suka mengeluarkan lelucon yang lucu. Setidaknya bagi kami. Lelucon dan guyonan -yang kadang tak dimengerti oleh orang lain saking anehnya- itulah yang mungkin mempersatukan kami. Oke. Kami memang berbeda. Tapi kalau sudah becanda,semuanya jadi nyambung. Sepertinya kami memang punya radar khusus untuk saling mengerti satu sama lain ketika sedang bercanda.

Kekuatan lainnya adalah kami tidak pernah mengekang. Kami tidak pernah melarang. Ya,kami memang bersahabat. Tapi bukan berarti kami hanya stuckdi sini. Bukan berarti kami tidak boleh berteman dengan yang lainnya. Bukan berarti kami berhak mencampuri setiap urusan personil kami.Silakan. Lakukan apapun yang kami mau. Kalaupun terjadi sesuatu yang tidak diharapkan, itu adalah konsekuensi yang harus kami hadapi. Toh kami sudah bergerak dewasa. Tentu kami punya pertimbangan atas apa yang akan kami lakukan. (tapi belakangan ini saya sering berpikir. Kami adalah sahabat. Tak ada salahnya untuk memperingati jika ada yang salah. Mungkin mekanisme layangan bisa dicoba. Ulur setinggi mungkin. Biarkan melayang. Tarik ketika memang layangan itu akan jatuh…bagaimana dengan teori itu kawan-kawan?)

Apakah persahabatan kami seideal itu? TENTU TIDAK. Kami bukan makhluk setengah dewa. Kami juga kadang saling mengecewakan. Kadang berbeda persepsi. Seringnya kami terlalu cuek satu sama lain (karena pada dasarnya kami memang tipe cuek). Kami juga masih suka jalan-jalan,makan-makan, dan bergosip tentang lelaki.
Lalu apa yang menjadi begitu berbeda?

Seperti yang sudah dijelaskan,saya selalu beranggapan persahabatan semasa SMA hanya sesaat. Ternyata tidak. Bahwa sampai saat ini kami masih bisa keep in touch -walau berbeda universitas,bahkan sudah ada yang merit- adalah sebuah kebanggan tersendiri bagi saya. Bahwa sampai sekarang mereka masih orang yang paling mengerti dan tak pernah menghakimi adalah kekuatan tersendiri bagi saya.

Lebih dari itu, persahabatan ternyata bukan soal seberapa lama kita saling mengenal. Seberapa sering intensitas pertemuan kita. Seberapa mirip kita dengan sahabat. Bagi saya,persahabatan bisa terjalin ketika kita tetap saling menghargai perbedaan. Tak saling menghakimi. dan kesediaan untuk saling berbagi di bawah atap ketulusan.





Mungkin kalian tidak pernah tahu. Tapi aku benar-benar merasa beruntung punya kalian. semoga terus seperti ini. Dan satu hal,kita bukan lagi pendekar pesimis. kita adalah pendekar POPULER NAN POTENSIAL. hahaha. para mutiara itu tak lagi tertutupi lumpur. untuk meong,peyot,chao,depong,momy fitri und our beloved niece nilam, dan anggota ‘baru’ juju brontok. selalu sukaria =p

1 comments:

Anonymous said...

mengangguk puluhan kali ketika membacanya..