Friday, February 5, 2010

Cakra dan Lysa: Petuah Dari Morrie

Salah satu buku favorit saya adalah Tuesdays with Morrie karya Mitch Albom. Aha, siapa yang tidak menyukai buku penuh inspirasi ini? Namun jika ada di antara kalian yang belum pernah membacanya, I highly recommended this book. Buku ini bercerita tentang “perkuliahan” yang diikuti Albom (yeah, this book is based on true story) pada dosennya, Morrie. Namun ini bukan sekedar perkuliahan. Untuk mengikuti kelas tersebut, Albom harus datang tiap Selasa ke rumah Morrie. Sang dosen, yang sedang tergolek lemah akibat penyakit yang dideritanya, mengajarkan mata kuliah yang berbeda. Ia mengajarkan mata kuliah kehidupan. Maka tiap Selasa, Morrie selalu mengajarkan berbagai hal soal kehidupan dan memberikan tips-tips agar Albom (juga kita semua) dapat melewatinya dengan baik.

Semakin hari kondisi Morrie semakin memburuk. Albom tahu hidup dosennya tidak akan lama lagi. Maka ia pun menanyakan pertanyaan ini:

“Morrie, apakah kamu takut dengan kematian?”

Morrie menjawab pertanyaan Albom. Saya lupa bagaimana kalimat persisnya. Intinya dia tidak merasa takut. Ia justru menghadapi rasa takut itu. Meresapinya dengan baik. Ketika ia sudah meresapi dan menjadikan rasa takut itu sebagai bagian dari dirinya, maka ketakutan tersebut hilang dengan sendirinya. Ini tak hanya berlaku bagi rasa takut, tapi juga bagi berbagai rasa tak mengenakkan yang kita alami.

We always pretend that we’re OK when we’re in that sucks condition. Sebenarnya tak masalah. Itu hanyalah bentuk dari pertahanan diri kita. Namun ternyata, menghindari kenyataan pahit dengan bersikap (pura-pura) baik-baik saja justru akan menambah beban hidup kita. Kita membohongi diri sendiri. Jika terendap begitu lama, suatu saat semua itu akan meledak seperti bom waktu.

Saya pun mengikuti saran Morrie. Maka tiap kali merasa takut, sakit hati, kecewa, marah, dan lain sebagainya, saya justru menghadapinya. Saya meresapi tiap sakitnya. Saya rasakan tiap ketakutan. Saya jejaki tiap kekecewaan. Orang yang tak mengerti mungkin akan menganggap saya bodoh. Kok ada orang yang mau menenggelamkan diri ke dalam semua rasa tak menyenangkan itu? Tapi saya punya jawabannya. Sama seperti Morrie, ketika semua sudah merasuk ke dalam jiwa (dalam rentan waktu yang tidak sebentar tentunya), perasaan itu hilang tanpa bekas. Esoknya saya merasa baik-baik saja. Kali ini tidak pura-pura tentunya.

Akhirnya Morrie meninggal. Walaupun merasa kehilangan, Albom merasa beruntung karena mendapat pelajaran berarti dari perkuliahannya dengan Morrie. Ada satu kalimat yang selalu saya ingat dari buku tersebut. Albom mengatakan bahwa ketika kehilangan seseorang, kita akan berusaha mengingat semua hal yang mengingatkan kita akan orang itu. Itulah yang sedang saya lakukan. Berusaha membangkitkan semua kenangan yang mengingatkan saya kepada Cakra.

Sedih?

Tentu saja.

Merasa nelangsa?

Ya.

Menyakiti diri sendiri?

Bisa jadi.

Tapi saya justru ingin meresapinya. Merasukinya. Tenggelam bersama kenangan-kenangan tersebut. Sampai suatu hari saya terbangun dan menyadari kalau perasaan-perasaan tidak menyenangkan itu telah hilang dengan sendirinya. Tak ada lagi rasa yang menyesakkan di dalam dada. Semua sudah terhempas dan saya pun bisa tersenyum sembari berkata; yeah, I am OK.

0 comments: